welcome to my blog

zealous worker is a dedicated worker, yet a passionate traveller. enjoy...

Tuesday, August 3, 2010

29 July - Kanazawa Seaside Line

Terletak di selatan Yokohama, Kanazawa Seaside Line membentang dari Shin-Sugita (Isogo Ward) sampai ke Kanazawa Hakkei (Kanazawa Ward). Dihitung-hitung ada 14 stasiun yang dilewati, yaitu Shin-sugita – Nambu-shijo – Torihama – Namiki-Kita – Namiki-Chuo – Sachiura – Sangyo-shinko-center – Fukuura – Shidai-Igakubu – Hakkeijima – Uminokoen-Shibaguchi - Uminokoen-Minamiguchi – Nojimakoen – Kanazawa Hakkei (disingkat KH aja ya, bakal sering disebut). Stasiun terdekat dengan tempat tinggal saya adalah Sangyo-shinko-center, yang berada tepat di tengah Seaside Line. Meskipun kedua ujung line hampir sama jauhnya, untuk keluar area saya lebih suka lewat Shin Sugita. Alasannya simple aja sih, stasiunnya lebih gede, jadi lebih gampang untuk nyambung kereta lain lewat JR Negishi Line. Pernah tuh keluar dari KH Seaside Line, trus ragu-ragu, kok cuma ada dua jalur mentok dan itupun isinya kereta yang sama. Ternyata, saya harus keluar dulu dari stasiun, lewat jembatan penyeberangan, turun, belok masuk gang, lewat pasar, dan… voila! Nyampelah saya ke KH-nya Keikyu Line. Jadi ceritanya dari rencana line sepanjang 11.5km jadinya cuma 10.6km sampai station KH-nya Seaside Line yang temporary, jadi memang itu nggak nyambung sama station KH-nya Keikyu Line. Bingung kah? Dulu saya juga, hehehe… Sebenernya saya pegang monthly ticket yang customized hanya untuk jalur dari Sangyo-shinko-center ke KH, dibayarin kantor. Jadi kalo mau ke Yokohama misalnya, kalo mo menghemat bisa gratis ampe KH, jalan ke KH satunya, dari sana baru pake kereta ke Yokohama. Berhubung saya lebih suka menghemat waktu perjalanan, saya pilih bayar untuk pergi ke Shin Sugita biar bisa langsung ganti kereta dan ga pake jalan lewat pasar dulu. So, saya lewat KH kalo lagi bokek aja. :p
Sepanjang Seaside Line, disebutkan di websitenya ada beberapa tempat menarik seperti Mitsui Outlet Park dekat Torihama Station, Yokohama Sea Paradise dekat Hakkeijima Station, pantai Uminokoen (bisa lewat Uminokoen-Shibaguchi atau Uminokoen-Minamiguchi), Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum dekat Uminokoen-Minamiguchi, dan juga taman dekat Nojimakoen. Mitsui Outlet Park itu sebenernya tempat belanja, tapi berhubung saya nggak punya banyak uang untuk dibelanjakan, cukup puas dengan pemandangan di Bayside Marina. Sudah kenyang dengan kuil di Kamakura dan museum waktu di Nagoya, saya jadi kurang tertarik untuk mengunjungi Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum. Udara bulan Juli juga terlalu panas untuk main di pantai Uminokoen. Lagipula, tiap hari saya dan teman yang training bareng harus jalan kaki dari Nojimakoen ke kantor selama 20-30 menit menyusuri pantai, dibawah terik matahari musim panas. Eh, tapi biarpun musim panas, pernah tuh tiba-tiba langit jadi gelap dan kami diguyur hujan angin. Saya sih langsung pake topi & jas hujan, tapi dia tetep pake payung. Beberapa kali payungnya kebalik, jadi menyerupai mangkok hadap keatas dan malah menyimpan air hujan. Jadi inget Kappa, makhluk halus Jepang yang digambarkan licin seperti katak & punya mangkok berisi air diatas kepalanya. Kalo sekedar kebalik sih bisa payungnya bisa diusahain ditutup trus dibuka lagi biar ga kebalik, tapi lama-lama angin makin kenceng & payung teman saya patah. Kasian… akhirnya dia buang payungnya & nurut beli jas hujan aja, hehehe... Balik ke tempat menarik di seaside line, kalo disuruh nonton baseball di Nojimakoen, lebih enggak lagi, soalnya kamar saya tepat menghadap ke lapangan baseball. Blah! Tau dong sekarang, kenapa saya ga bosen-bosennya keluyuran di Yokohama Sea Paradise. :D

Monday, August 2, 2010

28 July - Shinkansen

Sejak kecil, saya suka merhatiin kereta yang lewat di perlintasan. Kalau orang lain kesal karena perjalanannya terhambat kereta yang melintas, saya malah dengan senang menunggu dan menghitung gerbongnya. Berhubung saya anggota keluarga besar yang biasa bepergian pakai mobil, saya baru naik kereta pertama kali setelah duduk di bangku kuliah. Itupun cuma jarak dekat pake kereta Argo Gede Bandung-Jakarta. Kasian ya? Hehehe… Setelah pengalaman Argo Gede, saya coba lagi kereta dengan jarak lebih jauh yaitu Bandung – Semarang pakai Harina. Asyik juga ternyata. Sayangnya saya belum berkesempatan pakai kereta listrik yang buat ke arah Bogor ataupun kereta jenis ekonomi, jadi pengalaman naik kereta saya masih minim. Hobby saya ngeliatin kereta dipuaskan selama tinggal di Jepang, dimana dining hall yang luas itu sejajar dengan perlintasan monorail. Jadi sambil sarapan / makan malam saya bisa lihat siaran langsung kereta lewat tepat dibalik jendela yang lebih gede dari layar XXI, sayang jalannya kecepetan jadi nggak sempet dihitung gerbongnya. :p Kapan ya di Bandung ada monorail? Soalnya udah terbukti di banyak negara, mass rapid transportation ini memang solusi tepat untuk mengangkut banyak orang ke seluruh penjuru kota tanpa macet. Eh, tapi di Bangkok masih macet ding meskipun ada BTS (Bangkok Transport System) Skytrain & Subway. Yah, itu mungkin emang mobilnya aja dah kebanyakan. Hehehe… tapi emang monorail itu convenient banget.
Saat ini, rekor kereta non-konvensional tercepat di dunia dipegang oleh Maglev dengan kecepatan 581 km/jam di track magnetik mengambang, sementara untuk kereta konvensional masih dipegang TGV (Train à Grande Vitesse) -nya Perancis dengan kecepatan 574.8 km/jam. Saya sih belum pernah coba keduanya, tapi kalau kereta ketiga tercepat di dunia, saya sudah pernah. Shinkansen mendapat julukan kereta peluru karena bagian lokomotifnya yang berbentuk seperti peluru, dan kecepatan-nya yang cukup tinggi (sampai dengan 300 km/jam). Pertama kali saya naik Shinkansen dengan rute Nagoya – Tokyo, dengan jarak 342 km yang ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam. Jalur JR Tokaido Shinkansen sepanjang 515.4 km ini menghubungkan Shin-Osaka ke Tokyo melalui Kyoto, Maibara, Gifu-hashima, Nagoya, Mikawa-anjo, Toyohashi, Hamamatsu, Kakegawa, Shizuoka, Shin-Fuji, Mishima, Atami, Odawara, Shin Yokohama, dan Shinagawa. Jalur ini terkoneksi dengan tiga macam kereta, yaitu Nozomi (100 menit), Hikari (sekitar 10-20 menit lebih lambat dari Nozomi), dan Kodama (sekitar 3 jam karena stop di setiap stasiun yang dilewati). Jadi ketebak kan, saya pake kereta yang mana? :D Sebenernya kalo mau ngeteng pake kereta lokal yang nyambung-nyambung di tiap stasiun, jatuhnya bisa lebih murah. Tapi berhubung saya harus cepat pindah ke daerah Yokohama, jadi penyandang dana modalin pake Shinkansen, hehehe… Kali kedua pakai shinkansen, saya coba ke Nagaoka untuk mengunjungi seorang professor yang pernah menjadi sponsor pengajuan beasiswa saya. Waktu itu saya sempat ragu karena biaya perjalanan dengan shinkansen mahal sekali dan memakan waktu hampir 2 jam sekali jalan, padahal saya hanya punya waktu satu hari libur lagi sebelum pulang ke Indonesia. Seorang teman baik membelikan tiket Nagaoka – Tokyo untuk saya, jadi saya tinggal beli tiket berangkat Tokyo – Nagaoka. Oya, teman saya ini satu kampus waktu kami ambil S1, yang bersama saya mengajukan beasiswa di salah satu universitas ternama dengan rekomendasi sang professor. Kami berdua sudah dapat acceptance letter dari sana, dia dapat beasiswa sementara saya tidak, hehehe… Anyway, saya sudah cukup bangga pernah ketrima di universitas tersebut. Jalur JR Joetsu Shinkansen sepanjang 300 km melalui Tokyo – Ueno – Omiya – Kumagaya – Honjo-waseda – Takasaki – Jomo-Kogen – Echigo-yuzawa – Urasa – Nagaoka – Tsubame-Sanjo – Niigata. Saya sih nggak sampe ke Niigata, cuma sampe Nagaoka aja. Pemandangannya dari kota, desa, sawah, gunung, cuma kurang laut aja yang ga ada. Saya coba rekam beberapa video pendek, tapi ternyata setelah diputer lagi ga keliatan kerennya pemandangan, secara itu kereta jalannya cepet banget. Cobain deh, ngerekam video dari balik jendela mobil yang sedang ngebut, mungkin kurang lebih hasil yang didapat sama. :D

Friday, July 30, 2010

27 July - Toyota Commemorative Museum

Kalo denger nama Toyota, pasti yang kebayang pertama adalah mobil. Itulah kenapa saya sempet kaget waktu mengunjungi Toyota Commemorative Museum of Industry & Technology, yang ternyata berawal dari mesin tenun dan bukannya langsung bikin mobil. :D Sakichi Toyoda lahir di Shizuoka Prefecture tahun 1867, dan menciptakan mesin tenun kayu di usianya yang ke 23. Berturut-turut kemudian ia mengembangkan mesin pemintal benang, mesin tenun dengan kayu dan besi, mesin tenun berputar, sampai ke mesin tenun otomatis, dan terus berkarya sampai meninggal dunia di tahun 1930.
Masuk ke museum ini melewati lobby yang lega, saya masuk ke Textile Machinery Pavillion. Disini saya merasa kembali ke jaman dulu, dimana ada satu lantai produksi seluas 3,486 meter persegi yang penuh mesin tenun. Blok pertama berisi patung yang memeragakan cara paling tradisional untuk memintal benang dan menenun kain, yaitu dengan gulungan benang yang diputar, disambungkan dengan mesin tenun beroda yang digerakkan dengan tangan dan kaki. Berikutnya pada Garabo Spinning Machine saya bisa melihat mesin pemintal benang berteknologi Jepang di era Meiji (1868 – 1912) bersebelahan dengan mesin tahun 1920an yang mengadopsi system kerja mesin pemintal benang impor dari Inggris. Ceritanya sih, gabungan teknologi barat dan timur dalam pemintalan benang, menghasilkan mesin pemintal benang dengan system terotomasi dan dikendalikan oleh computer. Saking otomatisnya, kalo ada benang yang putus ditengah proses pemintalan, bisa langsung nyambung sendiri lho! Keren… Udah gitu ditampilin deh, mesin tenun masa kini yang berteknologi tinggi, yang diilhami dari gerak mekanik Karakuri. Lewat dari bagian tekstil, saya masuk ke bagian metal processing. Disini cukup banyak display proses pengolahan metal seperti, yaitu forging / penempaan, casting / pengecoran, dan cutting / pemotongan. Sudah sering sih lihat mobil dibikin, tapi baru nyadar kalo proses ngebentuk panel-nya aja panjang bener. :p Dari sana saya lanjut ke Automobile Pavillion seluas 7,900 meter persegi berisi segala macam mobil dan pretelannya, dari mulai sejarah mobil, spare part, pengetesan mekanisme, mesin press raksasa, sampai ke teknologi robot untuk welding / assembling / painting. Tempat favorit buat saya dan teman-teman untuk berfoto narsis bersama mobil-mobil lucu yang jarang kelihatan di jalan. Hehehe… Nggak kerasa, keliling museum ini cape juga. So far, ini museum terbesar yang pernah saya puterin. Di akhir kunjungam, beberapa teman belanja di toko souvenir. Ada yang beli miniatur mobil antik, beli parfum mobil berbentuk mobil sport, beli kartu pos bergambar truk unik jaman dulu, sementara saya, as usual, ambil foto sebanyak batre & memori kamera saya mampu. :D

Thursday, July 29, 2010

26 July - Shuuji


Pernah dengar Shuuji to Akira (Shuuji dan Akira)? Itu duo Tomohisa Yamashita (Yamapi) & Kamenashi Kazuya (Kame) yang bergenre J-pop. Saya suka salah satu single mereka Seishun Amigo yang terkenal sebagai soundtrack drama Nobuta wo Produce. Cewek pemain utama di drama ini namanya Horikita Maki. Selain di Shuuji to Akira, Yamapi juga join di band NewS, sementara Kame di KAT-TUN. Omong-omong KAT-TUN, itu singkatan dari K dari Kame, A dari Akanishi Jin (saya suka acting dia di Kimi wa Petto & Anego), T atau U dari Tatsuya Ueda, sisanya sapa lagi ya? Lupa, hehe… sorry. Acting Yamapi menurut saya paling keren di drama Kurosagi (Black Swindler), ceritanya tentang penipu yang menipu para penipu lainnya (ribet bener yak…). :p Disana Yamapi main lumayan serius & sering menyamar, biarpun jadi penipu dia tetep manusiawi ga mau nipu orang baik. Dia juga bisa acting kocak di Proposal Daisakusen (Operation Love), ceritanya tentang orang yang sedang menghadiri pernikahan sobat cewek yang dia suka trus diberi kesempatan untuk time travel buat confess, yang selalu gagal. Sementara Kame pernah main jadi siswa bermasalah di drama Gokusen. Drama ini keren lho! Nakama Yukie main jadi guru yang sebenernya pewaris utama keluarga Yakuza, jadi kalo ada siswanya yang digangguin ama suatu geng, dia pukulin tuh semua yang ganggunya. Ahaha… satu cewek mungil gebukin satu geng, impossible banget ga siy? :D Anyway, kok jadi kemana-mana ya? Ketahuan saya penggemar para brondong ini, huhuhu… Sebenernya saya bukan mau ngebahas Shuuji yang di musik j-pop ataupun j-dorama, tapi Shuuji yang lain. Ganti topik deh!

Saya pernah belajar bikin shuuji. Shuuji yang ini (nggak pake Akira) adalah kaligrafi tulisan Jepang. Seperti kaligrafi tulisan Arab yang kita kenal, pada shuuji juga dikenal tebal-tipis coretan untuk menghasilkan efek penekanan yang diinginkan. Penulisan karakter kanji dalam pembuatan shuuji punya urutan tertentu dimana harus mulai dan berakhir, jadi belajarnya nggak bisa sebentar. Pembuatan shuuji tidak lepas dari beberapa pendukung, yaitu fude (kuas kaligrafi), sumi (tinta kaligrafi), suzuri (batu tinta?), washi (kertas Jepang), shitajiki (tatakan kertas), dan bunchin (pemberat kertas). Kebetulan kami belajar bikin shuuji di salah satu pabrik sumi di daerah Nara. Jangan bayangin pabrik gede ya, ini kayak home made industry yang sudah bertahan ratusan tahun. Yang diproduksi disini bukan tinta berbentuk cair seperti yang lazimnya kita kenal untuk stempel seaworld ataupun celup jari pas pemilu, hehehe… Sumi yang dibuat berbentuk ink stick, batang tinta sepanjang jari tangan, dengan ketebalan dua jari. Seperti umumnya tinta, bahan dasar sumi adalah arang kayu yang dicampur dengan perekat hewani seperti putih telur atau kulit ikan, dan bahan-bahan lain yang saya nggak hafal. Cara membuatnya: bahan-bahan tersebut dicampur dalam proporsi tertentu sampai membentuk suatu adonan yang dipotong-potong kemudian di press dan dicetak dalam suatu molding kotak besar bersekat seukuran ink stick yang diinginkan. Ink stick yang dihasilkan ini masih lembek, sehingga harus dikeringkan dulu secara perlahan. Kesalahan dalam proses pembuatan bisa berakibat tinta retak saat dikeringkan. Setelah melihat proses pembuatan tinta, saya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lain untuk mulai belajar menulis nama untuk dibuat shuuji. Berhubung saya bukan orang Jepang / China, tidak ada karakter Kanji yang bisa digunakan untuk menulis nama saya. Tidak juga dengan Hiragana, karena karakter tersebut biasa dipakai untuk kata-kata yang kanjinya sudah tidak digunakan ataupun tidak diketahui. Alhasil, alih-alih pake Kanji ataupun Hiragana, nama saya dikonversikan mentah-mentah per suku kata pakai karakter Katakana. Ya, memang katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata dari bahasa asing yang akan diserap dalam Bahasa Jepang. Sukses mencorat-coret kertas bekas dengan bolpen untuk belajar menulis katakana, saya siap untuk mulai menulis pakai fude. Pertama harus dipastikan kertas (biasa, belum pakai washi beneran) yang kita pakai berada diatas shitajiki, supaya nanti tintanya nggak nembus ke meja. Bunchin diletakkan diatas kertas supaya nggak geser-geser waktu ditulisin. Sumi dibasahi sedikit ujung bawahnya, diposisikan vertical terhadap suzuri, dan digosokkan memutar seperti sedang mengaduk adonan kue. Cairan tinta mulai menyebar dari ujung yang dibasahi. Semakin lama proses tersebut, semakin tinggi tingkat kepekatan tinta yang dihasilkan. Begitu dapat level yang diharapkan, saya ambil fude, trus dicelupin ke tinta diatas suzuri. Goresan pertama, cuma garis dari atas kebawah sih, maunya tebal diatas – tipis dibawah seperti yang diajarin, tapi hasilnya cuma garis tak beraturan, luruspun tidak, dengan ketebalan yang nyaris sama. Kegagalan attempt one membuat penasaran. Coba lagi… lagi… dan lagi… sampai akhirnya kertas pertama penuh coretan garis vertical yang nggak jelas. Kertas kedua, mulai mencoba menulis namaku dalam katakana, diulang sampai kertas penuh, masih belum OK. Berhubung lirik kanan-kiri udah pada mulai nulis di washi, saya beranikan diri corat-coret langsung di kertas bagus itu. Voila! Jadilah shuuji pertamaku. :D setelah selesai bikin shuuji, kami diberi sumi yang masih lunak untuk dikepal beberapa saat sampai tercetak lekuk-lekuk jari, dan diberikan sebagai souvenir. Sumi tersebut dibungkus kertas seperti tissue dan dikemas dalam kotak kayu eksklusif. Kami juga diberi kenang-kenangan sebatang sumi lain dalam kotak, yang katanya sudah berumur cukup tua. Oya, sumi itu seperti wine, semakin tua umurnya, semakin mahal harganya. Hmm… kalo gitu kita lihat seberapa mahal tinta saya bisa dijual nanti, hehehe… nggak ding. Saya mau simpan aja buat kenang-kenangan.

Wednesday, July 28, 2010

25 July – Akihabara

Biasanya kalo ada teman yang ke Jepang suka pada dititipin nyari alat elektronik. Rata-rata titipan teman berkisar antara kamera digital baru sampai laptop second hand. Waktu itu belum jaman netbook bikinan China, jadi emang masih murahan beli laptop second. Beberapa kali saya menemani teman berbelanja ke satu daerah favorit, namanya Akihabara Denki Gai (Kota Elektronik Akihabara), singkatnya disebut Akiba. Lokasinya sih dari stasiun Tokyo deket banget, cuma satu station, kalo niat mo jalan kaki juga bisa. Masalahnya saya tinggal di daerah Yokohama, jadi agak perlu waktu n duit ekstra kalo mo kesana. Uniknya Akihabara, disana hampir semua toko jualan elektronik baik baru maupun bekas. Saya pernah masuk ke salah satu toko, ada kali tingginya 7 lantai. Masing-masing lantai ada tema-nya, misalnya lantai pertama kamera digital, lantai kedua laptop, lantai ketiga PC & peripherals, lantai empat TV, audio-video, game console lengkap ama stik & asesorisnya, lantai lima peralatan elektronik rumah tangga kayak setrikaan, pengikal rambut (orang Jepang ga butuh catok pelurus, rambut mereka udah disetrika di perut ibunya), mixer, sampai ke penghangat dudukan toilet, lantai enam jam dinding dan jam tangan, dan lantai paling atas souvenir. Itu baru satu toko, udah berasa satu mall, hehehe… Saya sih nggak kebayang gimana cara mereka bersaing, karena harga yang ditawarkan seperti sudah standar. Menurut saya, percuma juga capek keluar masuk satu deretan toko untuk cari satu barang kalau harganya cuma selisih ratusan yen. Nggak seperti teman-teman lain yang dari menabung allowance harian bisa bawa pulang laptop atau kamera digital, uang saya sudah habis buat tiket kereta kemana-mana, jadi pulang cuma bawa foto-foto yang sebagian dipakai untuk melengkapi blog ini. Alhasil, kalo jalan-jalan ke Akihabara ya cuma cuci mata doang, soalnya ga bakal beli.

Ada beberapa Duty Free shop favorit teman saya, yaitu Laox, Akky, dan Onoden. Ketiganya berada di satu jalan utama, Chuo Avenue, yang membelah Akihabara dari utara ke selatan. Kalo hari Minggu, jalan besar itu ditutup lho, kayak Jalan Dago pas car free day. Jadi aja kita bisa berdiri di tengah jalan tanpa takut ketabrak mobil. :p Beberapa toko memiliki pramuniaga yang bisa berbahasa asing, dengan harapan terjadi komunikasi yang lebih baik dengan calon pembeli. Saya pernah disapa seorang pramuniaga ketika sedang melihat-lihat, ditanya dari mana asal saya. Waktu saya bilang Indonesia, dengan cepat dia memanggilkan pramuniaga yang berasal dari Indonesia. Berhubung saya cuma window shopping, saya bilang ama si Mas-mas itu supaya nggak usah nemenin. Eh, dia ngikutin kemana saya pergi. Kesel, saya keluar dari toko itu trus masuk ke toko sebelah yang ga ada pramuniaga 'impor'-nya. Saya memang jahat. :p


Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh teman saya: apakah beli elektronik di Akihabara bener-bener murah? Hmm... kalo kata saya sih enggak juga ya. Sebelum pergi biasanya saya ingetin temen yang dititipin usahakan beliin barang yang ada garansi international & ada manual book bahasa Inggris. Kadang saya juga bantu teman yang mo nitip untuk browsing dulu spec alat elektronik pesanan di toko online lokal. Konversikan harganya ke currency yen saat ini, nah segitulah patokan harga tertingginya. Kan kita cari barang yang lebih murah, bukannya lebih mahal. Browsing juga barang dengan spec yang dekat dengan pesanan, karena ga semua model available di semua negara. Terbukti, pas hunting disana, biasanya barang (baru) yang diincar harganya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalaupun lebih murah, pasti buku manualnya Bahasa Jepang & nggak garansi international. Nanti kalo suatu saat rusak, meskipun masih dalam masa garansi, bakal repot nge-claim-nya. So, cintailah Indonesia, beli di deket rumah aja. :D

Tuesday, July 27, 2010

24 July - Hello Kitty

Hari ini saya pake pensil bergambar Hello Kitty. Ada yang gak kenal Hello Kitty? Jaman saya kecil, sebelum kenal Doraemon, kucing kartun yang saya kenal adalah Garfield dan Hello Kitty (disini spelling-nya jadi Harro Kitty, xixixi…). Meja belajar saya penuh dengan stiker kedua macam kucing tersebut, sampai-sampai gambar aslinya nggak kelihatan lagi. Nah, di negara asalnya, banyak sekali ditemukan merchandise si kucing putih berpita keluaran Sanrio ini. Hampir di setiap stasiun kereta besar selalu ada yang jual pin / gantungan kunci / cellphone charm. Kalau di pertokoan variasinya lebih banyak, berbagai stationery sampai ke asesoris interior mobil. Uniknya, pakaian Hello Kitty di tiap lokasi berbeda-beda, meskipun sama2 pakai kimono. Lumayan tuh buat yang demen kucing ini, bisa buat dikoleksi atau tuker-tukeran. Yang pake pakaian biasa juga ada, background-nya disesuaikan sama daerahnya. Misalkan di Kamakura, ada item yang namanya ‘Sanrio Gotouchi Hello Kitty Kanagawa Limited Kamakura Kannon-sama Netsuke Cell Phone Strap’. Hayah… panjang aja! Asal tau aja, barang itu cuma gantungan henpon kecil bening bergambar si kucing merem sambil duduk bersila macam Buddha diatas bunga teratai besar berwarna pink, bahkan pita di kuping kirinya pun berupa bunga teratai pink yang matching. *baru tau kucing bisa duduk bersila, ahahaha… ada-ada aja. Pernah di airport lihat gantungan hp Hello Kitty pake baju pramugari sambil nyeret koper, ada juga yang versi pilot-nya. Pernah juga saya dikasih omiyage (oleh-oleh) sekotak kue berisi kacang merah, yang berbentuk kepala si kucing. Pas mo gigit sempet ga tega siy… tapi ternyata kuenya enak. :p Omong-omong kue, ada toko kue yang di etalasenya memajang robot Hello Kitty setinggi orang, ceritanya dia lagi giling adonan kue. Ckckck…

Monday, July 26, 2010

23 July – Kabuki

As you may know, kabuki itu semacam pertunjukan drama teatrikal berisi musik dan tarian. Mungkin kalo dicari persamaannya di Indonesia, mirip dengan pertunjukan wayang orang. Jadi di jamannya Tokugawa Ieyasu (yup, dia lagi dia lagi...) berkuasa, kabuki pertama di tahun 1600an itu yang main cewek semua lho! Karena dinilai terlalu erotis, para performer-nya 'bisa dipake', dan dimainkan di area 'lampu merah', akhirnya kabuki wanita (onna-kabuki) dilarang di tahun 1629. Kabuki muncul lagi dengan format pemain laki-laki semua (yaro-kabuki) beberapa waktu kemudian, dan itu bertahan sampe sekarang. Siapa sih yang nggak penasaran untuk lihat para pria (bukan banci) berbedak tebal yang bermain sebagai wanita? Kalo saya sih penasaran. :D

Saya merasa beruntung pernah menonton performance kabuki langsung di Kabuki-za Theatre. Lokasinya di Higashi Ginza, bagian dari daerah pertokoan Ginza yang terkenal sebagai Avenue des Champs-Élysées -nya Tokyo. Bagian depan bangunan Kabuki-za lumayan lebar dibandingkan bangunan lain disekitarnya, jadi nggak susah deh nyarinya. Dari luar bangunannya tampak oldies tapi masih tetap megah dengan beberapa lantern & spanduk didepannya. Waktu itu saya dan beberapa teman membeli tiket pertunjukan matinee (namanya matinee a.k.a afternoon performance tapi mainnya jam 11 pagi :p). Kami mendapatkan sepotong tiket, satu pamflet tentang pertunjukan yang sedang berlangsung, & satu set transceiver (kombinasi radio transmitter & receiver alias HT) beserta earphone. Iseng kuputar-putar, ternyata ada beberapa channel, tapi cuma dua yang kutangkap yaitu Bahasa Inggris & Bahasa Jepang. Begitu masuk ke ruangan, kami menempati tempat duduk yang tidak bernomor. Wah, berarti dulu-duluan pilih tempat duduk dong, pikir kita. Karena kebiasaan nonton bioskop di Bandung, saya pilih di tengah deretan paling belakang. Oya, deretan tempat duduknya bertingkat mirip seperti di bioskop, tapi lebih curam. Bentuknya barisannya seperti huruf U, dengan balkon di deretan kanan dan kiri. Saya mengedarkan pandangan, jumlah tempat duduknya banyak sekali, sepertinya lebih banyak daripada yang ada di Cineplex 21. Pertunjukan sudah hampir mulai, tapi masih ada beberapa bangku kosong. Pikiran saya melayang ke pertunjukan wayang orang yang pernah saya tonton di Surakarta – Jawa Tengah, kondisinya sangat menyedihkan. Kursi kayu yang sudah sedikit reot dibuat berjajar menghadap panggung, dalam satu ruangan Gedung Sriwedari yang remang-remang itu jumlah penonton masih bisa dihitung dengan jari tangan. Pemain wayangnya sudah nggak bisa lagi menyembunyikan wajah keriput mereka dibalik make-up tebal, mereka juga rata-rata kurus sekali. Setelah pertunjukan wayang orang selesai, baru saya sadari bahwa diantara penonton yang bukan bule cuma saya dan keluarga pakdhe saya (suami-istri+2 anak). Kembali ke Kabuki-za, saya coba-coba mengabadikan panggung sepanjang 30meter-an yang layarnya masih tertutup, salah pencet, jadinya malah video pendek. Salah satu teman mengingatkan bahwa tidak boleh mengambil gambar dalam ruangan teater ini. Jadilah saya urung berfoto-foto dan hanya membaca pamflet yang tadi dibagikan sambil menunggu layar terbuka.


Layar terbuka diiringi suara tok-tok-tok dari salah satu instrument musik. Oya lupa bilang, para pemain musik itu ada di sisi kiri saya, di depan panggung. Tampak di panggung ada semacam rumah tanpa dinding, didalamnya ada seorang pria berpakaian kuno dengan gaya rambut botak didepan & rambut diikat dibelakang. Dia bersuara melengking, entah berbicara atau menyanyi, yang jelas saya nggak lihat ada microphone, sementara suaranya terdengar lantang setidaknya sampai deretan saya. Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan, nggak ada satu kata pun yang bisa saya tangkap. Saya iseng memutar channel ke Bahasa Jepang, tapi yang diomongin beda ama yang di panggung. Sama-sama nggak ngertinya, saya pasrah kembali lagi ke channel audio Bahasa Inggris. Terjemahannya nggak kalimat per kalimat, tapi jadi kayak sinopsis cerita yang sedang dipentaskan. Ah, ga seru! Pengen tau kan, dia lagi ngomong apa. Nggak berapa lama ada sosok perempuan, wajahnya tak terlihat, mereka berkomunikasi dengan nada seperti menyanyi. Kemudian ada seorang pria berpakaian tampak mewah, membunyikan bel di pagar & orang yang tadi didalam rumah keluar untuk membuka pagar, trus mereka ngomong-ngomong lagi. Tanpa menutup layar, adegan berganti di sisi panggung yang lain yang setting-nya seperti jembatan diatas sungai dalam hutan. Kali ini ada sepasang laki-laki & perempuan, mereka menghadap ke arah penonton. Asyik, ini yang saya tunggu-tunggu. Saya berusaha memperhatikan si ‘wanita’, yang pastinya diperankan oleh pria. Gerak-geriknya betul-betul gemulai, seperti wanita beneran. Dia pakai kimono wanita, pakai geta (sandal jepang yang kayak bakiak), bersanggul khas Jepang dengan tusuk konde yang pake gantungan berkilauan, bawa tas kecil & kipas. Mukanya benar-benar lukisan, aslinya udah sama sekali nggak kelihatan. Garis mukanya cuma terlihat alis yang dibentuk melengkung, bibir yang merah menyala, serta pipi seputih kertas yang diberi blush on warna pink. Saya jadi nyesel duduk jauh dari panggung, soalnya ga bisa merhatiin dengan jelas. Meskipun saya nggak bisa nangkep percakapannya sama sekali dan nggak terlalu jelas lihat raut muka, hanya dengan melihat gerak gerik mereka dan intonasi suara, saya bisa menangkap mereka sedang marah, sedih, senang, ataupun kecewa. Hebat sekali ya teater itu.

Intinya yang saya tonton waktu itu berjudul Shuzenji Monogatari yang menceritakan tentang seorang mask-carver (pembuat topeng) yang ditugasi oleh seorang shogun untuk membuat topeng mukanya. Si pembuat topeng yang bernama Yashao itu punya dua orang anak perempuan, namanya Katsura dan Kaede. Katsura nggak puas hidup di desa dan pengen merubah nasib untuk jadi orang terhormat, sementara Kaede cukup puas jadi istri Hirohiko, seorang pengikut Yashao. Shogun Yoriie datang menagih topeng mukanya, tapi Yashao meminta maaf karena pesanannya nggak jadi-jadi karena dia sedang kurang fokus. Setiap coba bikin dan gagal, topengnya dihancurkan lagi. Katsura bawa topeng terakhir yang dibuat ayahnya, Yoriie bilang ini udah bagus & meskipun Yashao protes, Katsura tetep kasih topengnya ke Yoriie. Singkat cerita, Yoriie suka ama Katsura trus minta ijin ama Yashao untuk menikahi Katsura. Waktu mereka pergi, Yashao ngancurin semua topeng yang udah dia bikin karena menurutnya membiarkan satu topeng gagal lolos keluar adalah kegagalannya sebagai seniman. Ternyata Yoriie itu Shogun-nya cuma nama doang, sementara kekuasaan masih dibawah kendali Masako (ibunya) dan Regent Yoshitoki. Kanakubo dari Kamakura datang untuk membunuh Yoriie, jadi Yoriie & Katsura berusaha melarikan diri dibantu oleh Hirohiko. Waktu Hirohiko datang, Kaede & Yashao lega, tapi mereka masih mengkhawatirkan Katsura. Ketika ada seorang prajurit terluka yang roboh didepan gerbang rumah mereka, mereka menemukan bahwa prajurit itu adalah Katsura yang menyamar dengan mengenakan topeng Yoriie. Ya, mungkin saya nggak pinter nyeritainnya lagi, tapi gitu lah pokoknya. Hehe.. *ketawa garing

BTW, saya menulis tentang Kabuki karena seorang teman memberitahu saya, saat ini Kabuki-za Theatre sudah ditutup untuk direkonstruksi, dan rencananya baru akan dibuka lagi 3 tahun lagi yaitu tahun 2013. Alasan dilakukannya rekonstruksi tersebut adalah kerentanan bangunan tua tersebut terhadap gempa bumi yang sering terjadi di Jepang. Hmm... lama juga ya. Katanya sih ntar tampak depan bakal dibangun menyerupai kondisi sebelum dipugar, tapi gedungnya akan jadi 43 tingkat. Hohoho…