Sepanjang Seaside Line, disebutkan di websitenya ada beberapa tempat menarik seperti Mitsui Outlet Park dekat Torihama Station, Yokohama Sea Paradise dekat Hakkeijima Station, pantai Uminokoen (bisa lewat Uminokoen-Shibaguchi atau Uminokoen-Minamiguchi), Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum dekat Uminokoen-Minamiguchi, dan juga taman dekat Nojimakoen. Mitsui Outlet Park itu sebenernya tempat belanja, tapi berhubung saya nggak punya banyak uang untuk dibelanjakan, cukup puas dengan pemandangan di Bayside Marina. Sudah kenyang dengan kuil di Kamakura dan museum waktu di Nagoya, saya jadi kurang tertarik untuk mengunjungi Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum. Udara bulan Juli juga terlalu panas untuk main di pantai Uminokoen. Lagipula, tiap hari saya dan teman yang training bareng harus jalan kaki dari Nojimakoen ke kantor selama 20-30 menit menyusuri pantai, dibawah terik matahari musim panas. Eh, tapi biarpun musim panas, pernah tuh tiba-tiba langit jadi gelap dan kami diguyur hujan angin. Saya sih langsung pake topi & jas hujan, tapi dia tetep pake payung. Beberapa kali payungnya kebalik, jadi menyerupai mangkok hadap keatas dan malah menyimpan air hujan. Jadi inget Kappa, makhluk halus Jepang yang digambarkan licin seperti katak & punya mangkok berisi air diatas kepalanya. Kalo sekedar kebalik sih bisa payungnya bisa diusahain ditutup trus dibuka lagi biar ga kebalik, tapi lama-lama angin makin kenceng & payung teman saya patah. Kasian… akhirnya dia buang payungnya & nurut beli jas hujan aja, hehehe... Balik ke tempat menarik di seaside line, kalo disuruh nonton baseball di Nojimakoen, lebih enggak lagi, soalnya kamar saya tepat menghadap ke lapangan baseball. Blah! Tau dong sekarang, kenapa saya ga bosen-bosennya keluyuran di Yokohama Sea Paradise. :D
Zealous Worker
welcome to my blog
zealous worker is a dedicated worker, yet a passionate traveller. enjoy...
Tuesday, August 3, 2010
29 July - Kanazawa Seaside Line
Sepanjang Seaside Line, disebutkan di websitenya ada beberapa tempat menarik seperti Mitsui Outlet Park dekat Torihama Station, Yokohama Sea Paradise dekat Hakkeijima Station, pantai Uminokoen (bisa lewat Uminokoen-Shibaguchi atau Uminokoen-Minamiguchi), Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum dekat Uminokoen-Minamiguchi, dan juga taman dekat Nojimakoen. Mitsui Outlet Park itu sebenernya tempat belanja, tapi berhubung saya nggak punya banyak uang untuk dibelanjakan, cukup puas dengan pemandangan di Bayside Marina. Sudah kenyang dengan kuil di Kamakura dan museum waktu di Nagoya, saya jadi kurang tertarik untuk mengunjungi Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum. Udara bulan Juli juga terlalu panas untuk main di pantai Uminokoen. Lagipula, tiap hari saya dan teman yang training bareng harus jalan kaki dari Nojimakoen ke kantor selama 20-30 menit menyusuri pantai, dibawah terik matahari musim panas. Eh, tapi biarpun musim panas, pernah tuh tiba-tiba langit jadi gelap dan kami diguyur hujan angin. Saya sih langsung pake topi & jas hujan, tapi dia tetep pake payung. Beberapa kali payungnya kebalik, jadi menyerupai mangkok hadap keatas dan malah menyimpan air hujan. Jadi inget Kappa, makhluk halus Jepang yang digambarkan licin seperti katak & punya mangkok berisi air diatas kepalanya. Kalo sekedar kebalik sih bisa payungnya bisa diusahain ditutup trus dibuka lagi biar ga kebalik, tapi lama-lama angin makin kenceng & payung teman saya patah. Kasian… akhirnya dia buang payungnya & nurut beli jas hujan aja, hehehe... Balik ke tempat menarik di seaside line, kalo disuruh nonton baseball di Nojimakoen, lebih enggak lagi, soalnya kamar saya tepat menghadap ke lapangan baseball. Blah! Tau dong sekarang, kenapa saya ga bosen-bosennya keluyuran di Yokohama Sea Paradise. :D
Monday, August 2, 2010
28 July - Shinkansen
Saat ini, rekor kereta non-konvensional tercepat di dunia dipegang oleh Maglev dengan kecepatan 581 km/jam di track magnetik mengambang, sementara untuk kereta konvensional masih dipegang TGV (Train à Grande Vitesse) -nya Perancis dengan kecepatan 574.8 km/jam. Saya sih belum pernah coba keduanya, tapi kalau kereta ketiga tercepat di dunia, saya sudah pernah. Shinkansen mendapat julukan kereta peluru karena bagian lokomotifnya yang berbentuk seperti peluru, dan kecepatan-nya yang cukup tinggi (sampai dengan 300 km/jam). Pertama kali saya naik Shinkansen dengan rute Nagoya – Tokyo, dengan jarak 342 km yang ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam. Jalur JR Tokaido Shinkansen sepanjang 515.4 km ini menghubungkan Shin-Osaka ke Tokyo melalui Kyoto, Maibara, Gifu-hashima, Nagoya, Mikawa-anjo, Toyohashi, Hamamatsu, Kakegawa, Shizuoka, Shin-Fuji, Mishima, Atami, Odawara, Shin Yokohama, dan Shinagawa. Jalur ini terkoneksi dengan tiga macam kereta, yaitu Nozomi (100 menit), Hikari (sekitar 10-20 menit lebih lambat dari Nozomi), dan Kodama (sekitar 3 jam karena stop di setiap stasiun yang dilewati). Jadi ketebak kan, saya pake kereta yang mana? :D Sebenernya kalo mau ngeteng pake kereta lokal yang nyambung-nyambung di tiap stasiun, jatuhnya bisa lebih murah. Tapi berhubung saya harus cepat pindah ke daerah Yokohama, jadi penyandang dana modalin pake Shinkansen, hehehe… Kali kedua pakai shinkansen, saya coba ke Nagaoka untuk mengunjungi seorang professor yang pernah menjadi sponsor pengajuan beasiswa saya. Waktu itu saya sempat ragu karena biaya perjalanan dengan shinkansen mahal sekali dan memakan waktu hampir 2 jam sekali jalan, padahal saya hanya punya waktu satu hari libur lagi sebelum pulang ke Indonesia. Seorang teman baik membelikan tiket Nagaoka – Tokyo untuk saya, jadi saya tinggal beli tiket berangkat Tokyo – Nagaoka. Oya, teman saya ini satu kampus waktu kami ambil S1, yang bersama saya mengajukan beasiswa di salah satu universitas ternama dengan rekomendasi sang professor. Kami berdua sudah dapat acceptance letter dari sana, dia dapat beasiswa sementara saya tidak, hehehe… Anyway, saya sudah cukup bangga pernah ketrima di universitas tersebut. Jalur JR Joetsu Shinkansen sepanjang 300 km melalui Tokyo – Ueno – Omiya – Kumagaya – Honjo-waseda – Takasaki – Jomo-Kogen – Echigo-yuzawa – Urasa – Nagaoka – Tsubame-Sanjo – Niigata. Saya sih nggak sampe ke Niigata, cuma sampe Nagaoka aja. Pemandangannya dari kota, desa, sawah, gunung, cuma kurang laut aja yang ga ada. Saya coba rekam beberapa video pendek, tapi ternyata setelah diputer lagi ga keliatan kerennya pemandangan, secara itu kereta jalannya cepet banget. Cobain deh, ngerekam video dari balik jendela mobil yang sedang ngebut, mungkin kurang lebih hasil yang didapat sama. :D
Friday, July 30, 2010
27 July - Toyota Commemorative Museum
Masuk ke museum ini melewati lobby yang lega, saya masuk ke Textile Machinery Pavillion. Disini saya merasa kembali ke jaman dulu, dimana ada satu lantai produksi seluas 3,486 meter persegi yang penuh mesin tenun. Blok pertama berisi patung yang memeragakan cara paling tradisional untuk memintal benang dan menenun kain, yaitu dengan gulungan benang yang diputar, disambungkan dengan mesin tenun beroda yang digerakkan dengan tangan dan kaki. Berikutnya pada Garabo Spinning Machine saya bisa melihat mesin pemintal benang berteknologi Jepang di era Meiji (1868 – 1912) bersebelahan dengan mesin tahun 1920an yang mengadopsi system kerja mesin pemintal benang impor dari Inggris. Ceritanya sih, gabungan teknologi barat dan timur dalam pemintalan benang, menghasilkan mesin pemintal benang dengan system terotomasi dan dikendalikan oleh computer. Saking otomatisnya, kalo ada benang yang putus ditengah proses pemintalan, bisa langsung nyambung sendiri lho! Keren… Udah gitu ditampilin deh, mesin tenun masa kini yang berteknologi tinggi, yang diilhami dari gerak mekanik Karakuri. Lewat dari bagian tekstil, saya masuk ke bagian metal processing. Disini cukup banyak display proses pengolahan metal seperti, yaitu forging / penempaan, casting / pengecoran, dan cutting / pemotongan. Sudah sering sih lihat mobil dibikin, tapi baru nyadar kalo proses ngebentuk panel-nya aja panjang bener. :p Dari sana saya lanjut ke Automobile Pavillion seluas 7,900 meter persegi berisi segala macam mobil dan pretelannya, dari mulai sejarah mobil, spare part, pengetesan mekanisme, mesin press raksasa, sampai ke teknologi robot untuk welding / assembling / painting. Tempat favorit buat saya dan teman-teman untuk berfoto narsis bersama mobil-mobil lucu yang jarang kelihatan di jalan. Hehehe… Nggak kerasa, keliling museum ini cape juga. So far, ini museum terbesar yang pernah saya puterin. Di akhir kunjungam, beberapa teman belanja di toko souvenir. Ada yang beli miniatur mobil antik, beli parfum mobil berbentuk mobil sport, beli kartu pos bergambar truk unik jaman dulu, sementara saya, as usual, ambil foto sebanyak batre & memori kamera saya mampu. :D
Thursday, July 29, 2010
26 July - Shuuji
Pernah dengar Shuuji to Akira (Shuuji dan Akira)? Itu duo Tomohisa Yamashita (Yamapi) & Kamenashi Kazuya (Kame) yang bergenre J-pop. Saya suka salah satu single mereka Seishun Amigo yang terkenal sebagai soundtrack drama Nobuta wo Produce. Cewek pemain utama di drama ini namanya Horikita Maki. Selain di Shuuji to Akira, Yamapi juga join di band NewS, sementara Kame di KAT-TUN. Omong-omong KAT-TUN, itu singkatan dari K dari Kame, A dari Akanishi Jin (saya suka acting dia di Kimi wa Petto & Anego), T atau U dari Tatsuya Ueda, sisanya sapa lagi ya? Lupa, hehe… sorry. Acting Yamapi menurut saya paling keren di drama Kurosagi (Black Swindler), ceritanya tentang penipu yang menipu para penipu lainnya (ribet bener yak…). :p Disana Yamapi main lumayan serius & sering menyamar, biarpun jadi penipu dia tetep manusiawi ga mau nipu orang baik. Dia juga bisa acting kocak di Proposal Daisakusen (Operation Love), ceritanya tentang orang yang sedang menghadiri pernikahan sobat cewek yang dia suka trus diberi kesempatan untuk time travel buat confess, yang selalu gagal. Sementara Kame pernah main jadi siswa bermasalah di drama Gokusen. Drama ini keren lho! Nakama Yukie main jadi guru yang sebenernya pewaris utama keluarga Yakuza, jadi kalo ada siswanya yang digangguin ama suatu geng, dia pukulin tuh semua yang ganggunya. Ahaha… satu cewek mungil gebukin satu geng, impossible banget ga siy? :D Anyway, kok jadi kemana-mana ya? Ketahuan saya penggemar para brondong ini, huhuhu… Sebenernya saya bukan mau ngebahas Shuuji yang di musik j-pop ataupun j-dorama, tapi Shuuji yang lain. Ganti topik deh!
Saya pernah belajar bikin shuuji. Shuuji yang ini (nggak pake Akira) adalah kaligrafi tulisan Jepang. Seperti kaligrafi tulisan Arab yang kita kenal, pada shuuji juga dikenal tebal-tipis coretan untuk menghasilkan efek penekanan yang diinginkan. Penulisan karakter kanji dalam pembuatan shuuji punya urutan tertentu dimana harus mulai dan berakhir, jadi belajarnya nggak bisa sebentar. Pembuatan shuuji tidak lepas dari beberapa pendukung, yaitu fude (kuas kaligrafi), sumi (tinta kaligrafi), suzuri (batu tinta?), washi (kertas Jepang), shitajiki (tatakan kertas), dan bunchin (pemberat kertas). Kebetulan kami belajar bikin shuuji di salah satu pabrik sumi di daerah Nara. Jangan bayangin pabrik gede ya, ini kayak home made industry yang sudah bertahan ratusan tahun. Yang diproduksi disini bukan tinta berbentuk cair seperti yang lazimnya kita kenal untuk stempel seaworld ataupun celup jari pas pemilu, hehehe… Sumi yang dibuat berbentuk ink stick, batang tinta sepanjang jari tangan, dengan ketebalan dua jari. Seperti umumnya tinta, bahan dasar sumi adalah arang kayu yang dicampur dengan perekat hewani seperti putih telur atau kulit ikan, dan bahan-bahan lain yang saya nggak hafal. Cara membuatnya: bahan-bahan tersebut dicampur dalam proporsi tertentu sampai membentuk suatu adonan yang dipotong-potong kemudian di press dan dicetak dalam suatu molding kotak besar bersekat seukuran ink stick yang diinginkan. Ink stick yang dihasilkan ini masih lembek, sehingga harus dikeringkan dulu secara perlahan. Kesalahan dalam proses pembuatan bisa berakibat tinta retak saat dikeringkan. Setelah melihat proses pembuatan tinta, saya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lain untuk mulai belajar menulis nama untuk dibuat shuuji. Berhubung saya bukan orang Jepang / China, tidak ada karakter Kanji yang bisa digunakan untuk menulis nama saya. Tidak juga dengan Hiragana, karena karakter tersebut biasa dipakai untuk kata-kata yang kanjinya sudah tidak digunakan ataupun tidak diketahui. Alhasil, alih-alih pake Kanji ataupun Hiragana, nama saya dikonversikan mentah-mentah per suku kata pakai karakter Katakana. Ya, memang katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata dari bahasa asing yang akan diserap dalam Bahasa Jepang. Sukses mencorat-coret kertas bekas dengan bolpen untuk belajar menulis katakana, saya siap untuk mulai menulis pakai fude. Pertama harus dipastikan kertas (biasa, belum pakai washi beneran) yang kita pakai berada diatas shitajiki, supaya nanti tintanya nggak nembus ke meja. Bunchin diletakkan diatas kertas supaya nggak geser-geser waktu ditulisin. Sumi dibasahi sedikit ujung bawahnya, diposisikan vertical terhadap suzuri, dan digosokkan memutar seperti sedang mengaduk adonan kue. Cairan tinta mulai menyebar dari ujung yang dibasahi. Semakin lama proses tersebut, semakin tinggi tingkat kepekatan tinta yang dihasilkan. Begitu dapat level yang diharapkan, saya ambil fude, trus dicelupin ke tinta diatas suzuri. Goresan pertama, cuma garis dari atas kebawah sih, maunya tebal diatas – tipis dibawah seperti yang diajarin, tapi hasilnya cuma garis tak beraturan, luruspun tidak, dengan ketebalan yang nyaris sama. Kegagalan attempt one membuat penasaran. Coba lagi… lagi… dan lagi… sampai akhirnya kertas pertama penuh coretan garis vertical yang nggak jelas. Kertas kedua, mulai mencoba menulis namaku dalam katakana, diulang sampai kertas penuh, masih belum OK. Berhubung lirik kanan-kiri udah pada mulai nulis di washi, saya beranikan diri corat-coret langsung di kertas bagus itu. Voila! Jadilah shuuji pertamaku. :D setelah selesai bikin shuuji, kami diberi sumi yang masih lunak untuk dikepal beberapa saat sampai tercetak lekuk-lekuk jari, dan diberikan sebagai souvenir. Sumi tersebut dibungkus kertas seperti tissue dan dikemas dalam kotak kayu eksklusif. Kami juga diberi kenang-kenangan sebatang sumi lain dalam kotak, yang katanya sudah berumur cukup tua. Oya, sumi itu seperti wine, semakin tua umurnya, semakin mahal harganya. Hmm… kalo gitu kita lihat seberapa mahal tinta saya bisa dijual nanti, hehehe… nggak ding. Saya mau simpan aja buat kenang-kenangan.
Saya pernah belajar bikin shuuji. Shuuji yang ini (nggak pake Akira) adalah kaligrafi tulisan Jepang. Seperti kaligrafi tulisan Arab yang kita kenal, pada shuuji juga dikenal tebal-tipis coretan untuk menghasilkan efek penekanan yang diinginkan. Penulisan karakter kanji dalam pembuatan shuuji punya urutan tertentu dimana harus mulai dan berakhir, jadi belajarnya nggak bisa sebentar. Pembuatan shuuji tidak lepas dari beberapa pendukung, yaitu fude (kuas kaligrafi), sumi (tinta kaligrafi), suzuri (batu tinta?), washi (kertas Jepang), shitajiki (tatakan kertas), dan bunchin (pemberat kertas). Kebetulan kami belajar bikin shuuji di salah satu pabrik sumi di daerah Nara. Jangan bayangin pabrik gede ya, ini kayak home made industry yang sudah bertahan ratusan tahun. Yang diproduksi disini bukan tinta berbentuk cair seperti yang lazimnya kita kenal untuk stempel seaworld ataupun celup jari pas pemilu, hehehe… Sumi yang dibuat berbentuk ink stick, batang tinta sepanjang jari tangan, dengan ketebalan dua jari. Seperti umumnya tinta, bahan dasar sumi adalah arang kayu yang dicampur dengan perekat hewani seperti putih telur atau kulit ikan, dan bahan-bahan lain yang saya nggak hafal. Cara membuatnya: bahan-bahan tersebut dicampur dalam proporsi tertentu sampai membentuk suatu adonan yang dipotong-potong kemudian di press dan dicetak dalam suatu molding kotak besar bersekat seukuran ink stick yang diinginkan. Ink stick yang dihasilkan ini masih lembek, sehingga harus dikeringkan dulu secara perlahan. Kesalahan dalam proses pembuatan bisa berakibat tinta retak saat dikeringkan. Setelah melihat proses pembuatan tinta, saya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lain untuk mulai belajar menulis nama untuk dibuat shuuji. Berhubung saya bukan orang Jepang / China, tidak ada karakter Kanji yang bisa digunakan untuk menulis nama saya. Tidak juga dengan Hiragana, karena karakter tersebut biasa dipakai untuk kata-kata yang kanjinya sudah tidak digunakan ataupun tidak diketahui. Alhasil, alih-alih pake Kanji ataupun Hiragana, nama saya dikonversikan mentah-mentah per suku kata pakai karakter Katakana. Ya, memang katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata dari bahasa asing yang akan diserap dalam Bahasa Jepang. Sukses mencorat-coret kertas bekas dengan bolpen untuk belajar menulis katakana, saya siap untuk mulai menulis pakai fude. Pertama harus dipastikan kertas (biasa, belum pakai washi beneran) yang kita pakai berada diatas shitajiki, supaya nanti tintanya nggak nembus ke meja. Bunchin diletakkan diatas kertas supaya nggak geser-geser waktu ditulisin. Sumi dibasahi sedikit ujung bawahnya, diposisikan vertical terhadap suzuri, dan digosokkan memutar seperti sedang mengaduk adonan kue. Cairan tinta mulai menyebar dari ujung yang dibasahi. Semakin lama proses tersebut, semakin tinggi tingkat kepekatan tinta yang dihasilkan. Begitu dapat level yang diharapkan, saya ambil fude, trus dicelupin ke tinta diatas suzuri. Goresan pertama, cuma garis dari atas kebawah sih, maunya tebal diatas – tipis dibawah seperti yang diajarin, tapi hasilnya cuma garis tak beraturan, luruspun tidak, dengan ketebalan yang nyaris sama. Kegagalan attempt one membuat penasaran. Coba lagi… lagi… dan lagi… sampai akhirnya kertas pertama penuh coretan garis vertical yang nggak jelas. Kertas kedua, mulai mencoba menulis namaku dalam katakana, diulang sampai kertas penuh, masih belum OK. Berhubung lirik kanan-kiri udah pada mulai nulis di washi, saya beranikan diri corat-coret langsung di kertas bagus itu. Voila! Jadilah shuuji pertamaku. :D setelah selesai bikin shuuji, kami diberi sumi yang masih lunak untuk dikepal beberapa saat sampai tercetak lekuk-lekuk jari, dan diberikan sebagai souvenir. Sumi tersebut dibungkus kertas seperti tissue dan dikemas dalam kotak kayu eksklusif. Kami juga diberi kenang-kenangan sebatang sumi lain dalam kotak, yang katanya sudah berumur cukup tua. Oya, sumi itu seperti wine, semakin tua umurnya, semakin mahal harganya. Hmm… kalo gitu kita lihat seberapa mahal tinta saya bisa dijual nanti, hehehe… nggak ding. Saya mau simpan aja buat kenang-kenangan.
Wednesday, July 28, 2010
25 July – Akihabara
Ada beberapa Duty Free shop favorit teman saya, yaitu Laox, Akky, dan Onoden. Ketiganya berada di satu jalan utama, Chuo Avenue, yang membelah Akihabara dari utara ke selatan. Kalo hari Minggu, jalan besar itu ditutup lho, kayak Jalan Dago pas car free day. Jadi aja kita bisa berdiri di tengah jalan tanpa takut ketabrak mobil. :p Beberapa toko memiliki pramuniaga yang bisa berbahasa asing, dengan harapan terjadi komunikasi yang lebih baik dengan calon pembeli. Saya pernah disapa seorang pramuniaga ketika sedang melihat-lihat, ditanya dari mana asal saya. Waktu saya bilang Indonesia, dengan cepat dia memanggilkan pramuniaga yang berasal dari Indonesia. Berhubung saya cuma window shopping, saya bilang ama si Mas-mas itu supaya nggak usah nemenin. Eh, dia ngikutin kemana saya pergi. Kesel, saya keluar dari toko itu trus masuk ke toko sebelah yang ga ada pramuniaga 'impor'-nya. Saya memang jahat. :p
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh teman saya: apakah beli elektronik di Akihabara bener-bener murah? Hmm... kalo kata saya sih enggak juga ya. Sebelum pergi biasanya saya ingetin temen yang dititipin usahakan beliin barang yang ada garansi international & ada manual book bahasa Inggris. Kadang saya juga bantu teman yang mo nitip untuk browsing dulu spec alat elektronik pesanan di toko online lokal. Konversikan harganya ke currency yen saat ini, nah segitulah patokan harga tertingginya. Kan kita cari barang yang lebih murah, bukannya lebih mahal. Browsing juga barang dengan spec yang dekat dengan pesanan, karena ga semua model available di semua negara. Terbukti, pas hunting disana, biasanya barang (baru) yang diincar harganya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalaupun lebih murah, pasti buku manualnya Bahasa Jepang & nggak garansi international. Nanti kalo suatu saat rusak, meskipun masih dalam masa garansi, bakal repot nge-claim-nya. So, cintailah Indonesia, beli di deket rumah aja. :D
Tuesday, July 27, 2010
24 July - Hello Kitty
Monday, July 26, 2010
23 July – Kabuki
Saya merasa beruntung pernah menonton performance kabuki langsung di Kabuki-za Theatre. Lokasinya di Higashi Ginza, bagian dari daerah pertokoan Ginza yang terkenal sebagai Avenue des Champs-Élysées -nya Tokyo. Bagian depan bangunan Kabuki-za lumayan lebar dibandingkan bangunan lain disekitarnya, jadi nggak susah deh nyarinya. Dari luar bangunannya tampak oldies tapi masih tetap megah dengan beberapa lantern & spanduk didepannya. Waktu itu saya dan beberapa teman membeli tiket pertunjukan matinee (namanya matinee a.k.a afternoon performance tapi mainnya jam 11 pagi :p). Kami mendapatkan sepotong tiket, satu pamflet tentang pertunjukan yang sedang berlangsung, & satu set transceiver (kombinasi radio transmitter & receiver alias HT) beserta earphone. Iseng kuputar-putar, ternyata ada beberapa channel, tapi cuma dua yang kutangkap yaitu Bahasa Inggris & Bahasa Jepang. Begitu masuk ke ruangan, kami menempati tempat duduk yang tidak bernomor. Wah, berarti dulu-duluan pilih tempat duduk dong, pikir kita. Karena kebiasaan nonton bioskop di Bandung, saya pilih di tengah deretan paling belakang. Oya, deretan tempat duduknya bertingkat mirip seperti di bioskop, tapi lebih curam. Bentuknya barisannya seperti huruf U, dengan balkon di deretan kanan dan kiri. Saya mengedarkan pandangan, jumlah tempat duduknya banyak sekali, sepertinya lebih banyak daripada yang ada di Cineplex 21. Pertunjukan sudah hampir mulai, tapi masih ada beberapa bangku kosong. Pikiran saya melayang ke pertunjukan wayang orang yang pernah saya tonton di Surakarta – Jawa Tengah, kondisinya sangat menyedihkan. Kursi kayu yang sudah sedikit reot dibuat berjajar menghadap panggung, dalam satu ruangan Gedung Sriwedari yang remang-remang itu jumlah penonton masih bisa dihitung dengan jari tangan. Pemain wayangnya sudah nggak bisa lagi menyembunyikan wajah keriput mereka dibalik make-up tebal, mereka juga rata-rata kurus sekali. Setelah pertunjukan wayang orang selesai, baru saya sadari bahwa diantara penonton yang bukan bule cuma saya dan keluarga pakdhe saya (suami-istri+2 anak). Kembali ke Kabuki-za, saya coba-coba mengabadikan panggung sepanjang 30meter-an yang layarnya masih tertutup, salah pencet, jadinya malah video pendek. Salah satu teman mengingatkan bahwa tidak boleh mengambil gambar dalam ruangan teater ini. Jadilah saya urung berfoto-foto dan hanya membaca pamflet yang tadi dibagikan sambil menunggu layar terbuka.
Layar terbuka diiringi suara tok-tok-tok dari salah satu instrument musik. Oya lupa bilang, para pemain musik itu ada di sisi kiri saya, di depan panggung. Tampak di panggung ada semacam rumah tanpa dinding, didalamnya ada seorang pria berpakaian kuno dengan gaya rambut botak didepan & rambut diikat dibelakang. Dia bersuara melengking, entah berbicara atau menyanyi, yang jelas saya nggak lihat ada microphone, sementara suaranya terdengar lantang setidaknya sampai deretan saya. Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan, nggak ada satu kata pun yang bisa saya tangkap. Saya iseng memutar channel ke Bahasa Jepang, tapi yang diomongin beda ama yang di panggung. Sama-sama nggak ngertinya, saya pasrah kembali lagi ke channel audio Bahasa Inggris. Terjemahannya nggak kalimat per kalimat, tapi jadi kayak sinopsis cerita yang sedang dipentaskan. Ah, ga seru! Pengen tau kan, dia lagi ngomong apa. Nggak berapa lama ada sosok perempuan, wajahnya tak terlihat, mereka berkomunikasi dengan nada seperti menyanyi. Kemudian ada seorang pria berpakaian tampak mewah, membunyikan bel di pagar & orang yang tadi didalam rumah keluar untuk membuka pagar, trus mereka ngomong-ngomong lagi. Tanpa menutup layar, adegan berganti di sisi panggung yang lain yang setting-nya seperti jembatan diatas sungai dalam hutan. Kali ini ada sepasang laki-laki & perempuan, mereka menghadap ke arah penonton. Asyik, ini yang saya tunggu-tunggu. Saya berusaha memperhatikan si ‘wanita’, yang pastinya diperankan oleh pria. Gerak-geriknya betul-betul gemulai, seperti wanita beneran. Dia pakai kimono wanita, pakai geta (sandal jepang yang kayak bakiak), bersanggul khas Jepang dengan tusuk konde yang pake gantungan berkilauan, bawa tas kecil & kipas. Mukanya benar-benar lukisan, aslinya udah sama sekali nggak kelihatan. Garis mukanya cuma terlihat alis yang dibentuk melengkung, bibir yang merah menyala, serta pipi seputih kertas yang diberi blush on warna pink. Saya jadi nyesel duduk jauh dari panggung, soalnya ga bisa merhatiin dengan jelas. Meskipun saya nggak bisa nangkep percakapannya sama sekali dan nggak terlalu jelas lihat raut muka, hanya dengan melihat gerak gerik mereka dan intonasi suara, saya bisa menangkap mereka sedang marah, sedih, senang, ataupun kecewa. Hebat sekali ya teater itu.
Intinya yang saya tonton waktu itu berjudul Shuzenji Monogatari yang menceritakan tentang seorang mask-carver (pembuat topeng) yang ditugasi oleh seorang shogun untuk membuat topeng mukanya. Si pembuat topeng yang bernama Yashao itu punya dua orang anak perempuan, namanya Katsura dan Kaede. Katsura nggak puas hidup di desa dan pengen merubah nasib untuk jadi orang terhormat, sementara Kaede cukup puas jadi istri Hirohiko, seorang pengikut Yashao. Shogun Yoriie datang menagih topeng mukanya, tapi Yashao meminta maaf karena pesanannya nggak jadi-jadi karena dia sedang kurang fokus. Setiap coba bikin dan gagal, topengnya dihancurkan lagi. Katsura bawa topeng terakhir yang dibuat ayahnya, Yoriie bilang ini udah bagus & meskipun Yashao protes, Katsura tetep kasih topengnya ke Yoriie. Singkat cerita, Yoriie suka ama Katsura trus minta ijin ama Yashao untuk menikahi Katsura. Waktu mereka pergi, Yashao ngancurin semua topeng yang udah dia bikin karena menurutnya membiarkan satu topeng gagal lolos keluar adalah kegagalannya sebagai seniman. Ternyata Yoriie itu Shogun-nya cuma nama doang, sementara kekuasaan masih dibawah kendali Masako (ibunya) dan Regent Yoshitoki. Kanakubo dari Kamakura datang untuk membunuh Yoriie, jadi Yoriie & Katsura berusaha melarikan diri dibantu oleh Hirohiko. Waktu Hirohiko datang, Kaede & Yashao lega, tapi mereka masih mengkhawatirkan Katsura. Ketika ada seorang prajurit terluka yang roboh didepan gerbang rumah mereka, mereka menemukan bahwa prajurit itu adalah Katsura yang menyamar dengan mengenakan topeng Yoriie. Ya, mungkin saya nggak pinter nyeritainnya lagi, tapi gitu lah pokoknya. Hehe.. *ketawa garing
BTW, saya menulis tentang Kabuki karena seorang teman memberitahu saya, saat ini Kabuki-za Theatre sudah ditutup untuk direkonstruksi, dan rencananya baru akan dibuka lagi 3 tahun lagi yaitu tahun 2013. Alasan dilakukannya rekonstruksi tersebut adalah kerentanan bangunan tua tersebut terhadap gempa bumi yang sering terjadi di Jepang. Hmm... lama juga ya. Katanya sih ntar tampak depan bakal dibangun menyerupai kondisi sebelum dipugar, tapi gedungnya akan jadi 43 tingkat. Hohoho…
Subscribe to:
Posts (Atom)