welcome to my blog

zealous worker is a dedicated worker, yet a passionate traveller. enjoy...

Thursday, July 29, 2010

26 July - Shuuji


Pernah dengar Shuuji to Akira (Shuuji dan Akira)? Itu duo Tomohisa Yamashita (Yamapi) & Kamenashi Kazuya (Kame) yang bergenre J-pop. Saya suka salah satu single mereka Seishun Amigo yang terkenal sebagai soundtrack drama Nobuta wo Produce. Cewek pemain utama di drama ini namanya Horikita Maki. Selain di Shuuji to Akira, Yamapi juga join di band NewS, sementara Kame di KAT-TUN. Omong-omong KAT-TUN, itu singkatan dari K dari Kame, A dari Akanishi Jin (saya suka acting dia di Kimi wa Petto & Anego), T atau U dari Tatsuya Ueda, sisanya sapa lagi ya? Lupa, hehe… sorry. Acting Yamapi menurut saya paling keren di drama Kurosagi (Black Swindler), ceritanya tentang penipu yang menipu para penipu lainnya (ribet bener yak…). :p Disana Yamapi main lumayan serius & sering menyamar, biarpun jadi penipu dia tetep manusiawi ga mau nipu orang baik. Dia juga bisa acting kocak di Proposal Daisakusen (Operation Love), ceritanya tentang orang yang sedang menghadiri pernikahan sobat cewek yang dia suka trus diberi kesempatan untuk time travel buat confess, yang selalu gagal. Sementara Kame pernah main jadi siswa bermasalah di drama Gokusen. Drama ini keren lho! Nakama Yukie main jadi guru yang sebenernya pewaris utama keluarga Yakuza, jadi kalo ada siswanya yang digangguin ama suatu geng, dia pukulin tuh semua yang ganggunya. Ahaha… satu cewek mungil gebukin satu geng, impossible banget ga siy? :D Anyway, kok jadi kemana-mana ya? Ketahuan saya penggemar para brondong ini, huhuhu… Sebenernya saya bukan mau ngebahas Shuuji yang di musik j-pop ataupun j-dorama, tapi Shuuji yang lain. Ganti topik deh!

Saya pernah belajar bikin shuuji. Shuuji yang ini (nggak pake Akira) adalah kaligrafi tulisan Jepang. Seperti kaligrafi tulisan Arab yang kita kenal, pada shuuji juga dikenal tebal-tipis coretan untuk menghasilkan efek penekanan yang diinginkan. Penulisan karakter kanji dalam pembuatan shuuji punya urutan tertentu dimana harus mulai dan berakhir, jadi belajarnya nggak bisa sebentar. Pembuatan shuuji tidak lepas dari beberapa pendukung, yaitu fude (kuas kaligrafi), sumi (tinta kaligrafi), suzuri (batu tinta?), washi (kertas Jepang), shitajiki (tatakan kertas), dan bunchin (pemberat kertas). Kebetulan kami belajar bikin shuuji di salah satu pabrik sumi di daerah Nara. Jangan bayangin pabrik gede ya, ini kayak home made industry yang sudah bertahan ratusan tahun. Yang diproduksi disini bukan tinta berbentuk cair seperti yang lazimnya kita kenal untuk stempel seaworld ataupun celup jari pas pemilu, hehehe… Sumi yang dibuat berbentuk ink stick, batang tinta sepanjang jari tangan, dengan ketebalan dua jari. Seperti umumnya tinta, bahan dasar sumi adalah arang kayu yang dicampur dengan perekat hewani seperti putih telur atau kulit ikan, dan bahan-bahan lain yang saya nggak hafal. Cara membuatnya: bahan-bahan tersebut dicampur dalam proporsi tertentu sampai membentuk suatu adonan yang dipotong-potong kemudian di press dan dicetak dalam suatu molding kotak besar bersekat seukuran ink stick yang diinginkan. Ink stick yang dihasilkan ini masih lembek, sehingga harus dikeringkan dulu secara perlahan. Kesalahan dalam proses pembuatan bisa berakibat tinta retak saat dikeringkan. Setelah melihat proses pembuatan tinta, saya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lain untuk mulai belajar menulis nama untuk dibuat shuuji. Berhubung saya bukan orang Jepang / China, tidak ada karakter Kanji yang bisa digunakan untuk menulis nama saya. Tidak juga dengan Hiragana, karena karakter tersebut biasa dipakai untuk kata-kata yang kanjinya sudah tidak digunakan ataupun tidak diketahui. Alhasil, alih-alih pake Kanji ataupun Hiragana, nama saya dikonversikan mentah-mentah per suku kata pakai karakter Katakana. Ya, memang katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata dari bahasa asing yang akan diserap dalam Bahasa Jepang. Sukses mencorat-coret kertas bekas dengan bolpen untuk belajar menulis katakana, saya siap untuk mulai menulis pakai fude. Pertama harus dipastikan kertas (biasa, belum pakai washi beneran) yang kita pakai berada diatas shitajiki, supaya nanti tintanya nggak nembus ke meja. Bunchin diletakkan diatas kertas supaya nggak geser-geser waktu ditulisin. Sumi dibasahi sedikit ujung bawahnya, diposisikan vertical terhadap suzuri, dan digosokkan memutar seperti sedang mengaduk adonan kue. Cairan tinta mulai menyebar dari ujung yang dibasahi. Semakin lama proses tersebut, semakin tinggi tingkat kepekatan tinta yang dihasilkan. Begitu dapat level yang diharapkan, saya ambil fude, trus dicelupin ke tinta diatas suzuri. Goresan pertama, cuma garis dari atas kebawah sih, maunya tebal diatas – tipis dibawah seperti yang diajarin, tapi hasilnya cuma garis tak beraturan, luruspun tidak, dengan ketebalan yang nyaris sama. Kegagalan attempt one membuat penasaran. Coba lagi… lagi… dan lagi… sampai akhirnya kertas pertama penuh coretan garis vertical yang nggak jelas. Kertas kedua, mulai mencoba menulis namaku dalam katakana, diulang sampai kertas penuh, masih belum OK. Berhubung lirik kanan-kiri udah pada mulai nulis di washi, saya beranikan diri corat-coret langsung di kertas bagus itu. Voila! Jadilah shuuji pertamaku. :D setelah selesai bikin shuuji, kami diberi sumi yang masih lunak untuk dikepal beberapa saat sampai tercetak lekuk-lekuk jari, dan diberikan sebagai souvenir. Sumi tersebut dibungkus kertas seperti tissue dan dikemas dalam kotak kayu eksklusif. Kami juga diberi kenang-kenangan sebatang sumi lain dalam kotak, yang katanya sudah berumur cukup tua. Oya, sumi itu seperti wine, semakin tua umurnya, semakin mahal harganya. Hmm… kalo gitu kita lihat seberapa mahal tinta saya bisa dijual nanti, hehehe… nggak ding. Saya mau simpan aja buat kenang-kenangan.

No comments:

Post a Comment