welcome to my blog

zealous worker is a dedicated worker, yet a passionate traveller. enjoy...

Tuesday, August 3, 2010

29 July - Kanazawa Seaside Line

Terletak di selatan Yokohama, Kanazawa Seaside Line membentang dari Shin-Sugita (Isogo Ward) sampai ke Kanazawa Hakkei (Kanazawa Ward). Dihitung-hitung ada 14 stasiun yang dilewati, yaitu Shin-sugita – Nambu-shijo – Torihama – Namiki-Kita – Namiki-Chuo – Sachiura – Sangyo-shinko-center – Fukuura – Shidai-Igakubu – Hakkeijima – Uminokoen-Shibaguchi - Uminokoen-Minamiguchi – Nojimakoen – Kanazawa Hakkei (disingkat KH aja ya, bakal sering disebut). Stasiun terdekat dengan tempat tinggal saya adalah Sangyo-shinko-center, yang berada tepat di tengah Seaside Line. Meskipun kedua ujung line hampir sama jauhnya, untuk keluar area saya lebih suka lewat Shin Sugita. Alasannya simple aja sih, stasiunnya lebih gede, jadi lebih gampang untuk nyambung kereta lain lewat JR Negishi Line. Pernah tuh keluar dari KH Seaside Line, trus ragu-ragu, kok cuma ada dua jalur mentok dan itupun isinya kereta yang sama. Ternyata, saya harus keluar dulu dari stasiun, lewat jembatan penyeberangan, turun, belok masuk gang, lewat pasar, dan… voila! Nyampelah saya ke KH-nya Keikyu Line. Jadi ceritanya dari rencana line sepanjang 11.5km jadinya cuma 10.6km sampai station KH-nya Seaside Line yang temporary, jadi memang itu nggak nyambung sama station KH-nya Keikyu Line. Bingung kah? Dulu saya juga, hehehe… Sebenernya saya pegang monthly ticket yang customized hanya untuk jalur dari Sangyo-shinko-center ke KH, dibayarin kantor. Jadi kalo mau ke Yokohama misalnya, kalo mo menghemat bisa gratis ampe KH, jalan ke KH satunya, dari sana baru pake kereta ke Yokohama. Berhubung saya lebih suka menghemat waktu perjalanan, saya pilih bayar untuk pergi ke Shin Sugita biar bisa langsung ganti kereta dan ga pake jalan lewat pasar dulu. So, saya lewat KH kalo lagi bokek aja. :p
Sepanjang Seaside Line, disebutkan di websitenya ada beberapa tempat menarik seperti Mitsui Outlet Park dekat Torihama Station, Yokohama Sea Paradise dekat Hakkeijima Station, pantai Uminokoen (bisa lewat Uminokoen-Shibaguchi atau Uminokoen-Minamiguchi), Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum dekat Uminokoen-Minamiguchi, dan juga taman dekat Nojimakoen. Mitsui Outlet Park itu sebenernya tempat belanja, tapi berhubung saya nggak punya banyak uang untuk dibelanjakan, cukup puas dengan pemandangan di Bayside Marina. Sudah kenyang dengan kuil di Kamakura dan museum waktu di Nagoya, saya jadi kurang tertarik untuk mengunjungi Shomyo-ji Temple dan Kanagawa Prefectural Kanazawa Bunko Museum. Udara bulan Juli juga terlalu panas untuk main di pantai Uminokoen. Lagipula, tiap hari saya dan teman yang training bareng harus jalan kaki dari Nojimakoen ke kantor selama 20-30 menit menyusuri pantai, dibawah terik matahari musim panas. Eh, tapi biarpun musim panas, pernah tuh tiba-tiba langit jadi gelap dan kami diguyur hujan angin. Saya sih langsung pake topi & jas hujan, tapi dia tetep pake payung. Beberapa kali payungnya kebalik, jadi menyerupai mangkok hadap keatas dan malah menyimpan air hujan. Jadi inget Kappa, makhluk halus Jepang yang digambarkan licin seperti katak & punya mangkok berisi air diatas kepalanya. Kalo sekedar kebalik sih bisa payungnya bisa diusahain ditutup trus dibuka lagi biar ga kebalik, tapi lama-lama angin makin kenceng & payung teman saya patah. Kasian… akhirnya dia buang payungnya & nurut beli jas hujan aja, hehehe... Balik ke tempat menarik di seaside line, kalo disuruh nonton baseball di Nojimakoen, lebih enggak lagi, soalnya kamar saya tepat menghadap ke lapangan baseball. Blah! Tau dong sekarang, kenapa saya ga bosen-bosennya keluyuran di Yokohama Sea Paradise. :D

Monday, August 2, 2010

28 July - Shinkansen

Sejak kecil, saya suka merhatiin kereta yang lewat di perlintasan. Kalau orang lain kesal karena perjalanannya terhambat kereta yang melintas, saya malah dengan senang menunggu dan menghitung gerbongnya. Berhubung saya anggota keluarga besar yang biasa bepergian pakai mobil, saya baru naik kereta pertama kali setelah duduk di bangku kuliah. Itupun cuma jarak dekat pake kereta Argo Gede Bandung-Jakarta. Kasian ya? Hehehe… Setelah pengalaman Argo Gede, saya coba lagi kereta dengan jarak lebih jauh yaitu Bandung – Semarang pakai Harina. Asyik juga ternyata. Sayangnya saya belum berkesempatan pakai kereta listrik yang buat ke arah Bogor ataupun kereta jenis ekonomi, jadi pengalaman naik kereta saya masih minim. Hobby saya ngeliatin kereta dipuaskan selama tinggal di Jepang, dimana dining hall yang luas itu sejajar dengan perlintasan monorail. Jadi sambil sarapan / makan malam saya bisa lihat siaran langsung kereta lewat tepat dibalik jendela yang lebih gede dari layar XXI, sayang jalannya kecepetan jadi nggak sempet dihitung gerbongnya. :p Kapan ya di Bandung ada monorail? Soalnya udah terbukti di banyak negara, mass rapid transportation ini memang solusi tepat untuk mengangkut banyak orang ke seluruh penjuru kota tanpa macet. Eh, tapi di Bangkok masih macet ding meskipun ada BTS (Bangkok Transport System) Skytrain & Subway. Yah, itu mungkin emang mobilnya aja dah kebanyakan. Hehehe… tapi emang monorail itu convenient banget.
Saat ini, rekor kereta non-konvensional tercepat di dunia dipegang oleh Maglev dengan kecepatan 581 km/jam di track magnetik mengambang, sementara untuk kereta konvensional masih dipegang TGV (Train à Grande Vitesse) -nya Perancis dengan kecepatan 574.8 km/jam. Saya sih belum pernah coba keduanya, tapi kalau kereta ketiga tercepat di dunia, saya sudah pernah. Shinkansen mendapat julukan kereta peluru karena bagian lokomotifnya yang berbentuk seperti peluru, dan kecepatan-nya yang cukup tinggi (sampai dengan 300 km/jam). Pertama kali saya naik Shinkansen dengan rute Nagoya – Tokyo, dengan jarak 342 km yang ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam. Jalur JR Tokaido Shinkansen sepanjang 515.4 km ini menghubungkan Shin-Osaka ke Tokyo melalui Kyoto, Maibara, Gifu-hashima, Nagoya, Mikawa-anjo, Toyohashi, Hamamatsu, Kakegawa, Shizuoka, Shin-Fuji, Mishima, Atami, Odawara, Shin Yokohama, dan Shinagawa. Jalur ini terkoneksi dengan tiga macam kereta, yaitu Nozomi (100 menit), Hikari (sekitar 10-20 menit lebih lambat dari Nozomi), dan Kodama (sekitar 3 jam karena stop di setiap stasiun yang dilewati). Jadi ketebak kan, saya pake kereta yang mana? :D Sebenernya kalo mau ngeteng pake kereta lokal yang nyambung-nyambung di tiap stasiun, jatuhnya bisa lebih murah. Tapi berhubung saya harus cepat pindah ke daerah Yokohama, jadi penyandang dana modalin pake Shinkansen, hehehe… Kali kedua pakai shinkansen, saya coba ke Nagaoka untuk mengunjungi seorang professor yang pernah menjadi sponsor pengajuan beasiswa saya. Waktu itu saya sempat ragu karena biaya perjalanan dengan shinkansen mahal sekali dan memakan waktu hampir 2 jam sekali jalan, padahal saya hanya punya waktu satu hari libur lagi sebelum pulang ke Indonesia. Seorang teman baik membelikan tiket Nagaoka – Tokyo untuk saya, jadi saya tinggal beli tiket berangkat Tokyo – Nagaoka. Oya, teman saya ini satu kampus waktu kami ambil S1, yang bersama saya mengajukan beasiswa di salah satu universitas ternama dengan rekomendasi sang professor. Kami berdua sudah dapat acceptance letter dari sana, dia dapat beasiswa sementara saya tidak, hehehe… Anyway, saya sudah cukup bangga pernah ketrima di universitas tersebut. Jalur JR Joetsu Shinkansen sepanjang 300 km melalui Tokyo – Ueno – Omiya – Kumagaya – Honjo-waseda – Takasaki – Jomo-Kogen – Echigo-yuzawa – Urasa – Nagaoka – Tsubame-Sanjo – Niigata. Saya sih nggak sampe ke Niigata, cuma sampe Nagaoka aja. Pemandangannya dari kota, desa, sawah, gunung, cuma kurang laut aja yang ga ada. Saya coba rekam beberapa video pendek, tapi ternyata setelah diputer lagi ga keliatan kerennya pemandangan, secara itu kereta jalannya cepet banget. Cobain deh, ngerekam video dari balik jendela mobil yang sedang ngebut, mungkin kurang lebih hasil yang didapat sama. :D

Friday, July 30, 2010

27 July - Toyota Commemorative Museum

Kalo denger nama Toyota, pasti yang kebayang pertama adalah mobil. Itulah kenapa saya sempet kaget waktu mengunjungi Toyota Commemorative Museum of Industry & Technology, yang ternyata berawal dari mesin tenun dan bukannya langsung bikin mobil. :D Sakichi Toyoda lahir di Shizuoka Prefecture tahun 1867, dan menciptakan mesin tenun kayu di usianya yang ke 23. Berturut-turut kemudian ia mengembangkan mesin pemintal benang, mesin tenun dengan kayu dan besi, mesin tenun berputar, sampai ke mesin tenun otomatis, dan terus berkarya sampai meninggal dunia di tahun 1930.
Masuk ke museum ini melewati lobby yang lega, saya masuk ke Textile Machinery Pavillion. Disini saya merasa kembali ke jaman dulu, dimana ada satu lantai produksi seluas 3,486 meter persegi yang penuh mesin tenun. Blok pertama berisi patung yang memeragakan cara paling tradisional untuk memintal benang dan menenun kain, yaitu dengan gulungan benang yang diputar, disambungkan dengan mesin tenun beroda yang digerakkan dengan tangan dan kaki. Berikutnya pada Garabo Spinning Machine saya bisa melihat mesin pemintal benang berteknologi Jepang di era Meiji (1868 – 1912) bersebelahan dengan mesin tahun 1920an yang mengadopsi system kerja mesin pemintal benang impor dari Inggris. Ceritanya sih, gabungan teknologi barat dan timur dalam pemintalan benang, menghasilkan mesin pemintal benang dengan system terotomasi dan dikendalikan oleh computer. Saking otomatisnya, kalo ada benang yang putus ditengah proses pemintalan, bisa langsung nyambung sendiri lho! Keren… Udah gitu ditampilin deh, mesin tenun masa kini yang berteknologi tinggi, yang diilhami dari gerak mekanik Karakuri. Lewat dari bagian tekstil, saya masuk ke bagian metal processing. Disini cukup banyak display proses pengolahan metal seperti, yaitu forging / penempaan, casting / pengecoran, dan cutting / pemotongan. Sudah sering sih lihat mobil dibikin, tapi baru nyadar kalo proses ngebentuk panel-nya aja panjang bener. :p Dari sana saya lanjut ke Automobile Pavillion seluas 7,900 meter persegi berisi segala macam mobil dan pretelannya, dari mulai sejarah mobil, spare part, pengetesan mekanisme, mesin press raksasa, sampai ke teknologi robot untuk welding / assembling / painting. Tempat favorit buat saya dan teman-teman untuk berfoto narsis bersama mobil-mobil lucu yang jarang kelihatan di jalan. Hehehe… Nggak kerasa, keliling museum ini cape juga. So far, ini museum terbesar yang pernah saya puterin. Di akhir kunjungam, beberapa teman belanja di toko souvenir. Ada yang beli miniatur mobil antik, beli parfum mobil berbentuk mobil sport, beli kartu pos bergambar truk unik jaman dulu, sementara saya, as usual, ambil foto sebanyak batre & memori kamera saya mampu. :D

Thursday, July 29, 2010

26 July - Shuuji


Pernah dengar Shuuji to Akira (Shuuji dan Akira)? Itu duo Tomohisa Yamashita (Yamapi) & Kamenashi Kazuya (Kame) yang bergenre J-pop. Saya suka salah satu single mereka Seishun Amigo yang terkenal sebagai soundtrack drama Nobuta wo Produce. Cewek pemain utama di drama ini namanya Horikita Maki. Selain di Shuuji to Akira, Yamapi juga join di band NewS, sementara Kame di KAT-TUN. Omong-omong KAT-TUN, itu singkatan dari K dari Kame, A dari Akanishi Jin (saya suka acting dia di Kimi wa Petto & Anego), T atau U dari Tatsuya Ueda, sisanya sapa lagi ya? Lupa, hehe… sorry. Acting Yamapi menurut saya paling keren di drama Kurosagi (Black Swindler), ceritanya tentang penipu yang menipu para penipu lainnya (ribet bener yak…). :p Disana Yamapi main lumayan serius & sering menyamar, biarpun jadi penipu dia tetep manusiawi ga mau nipu orang baik. Dia juga bisa acting kocak di Proposal Daisakusen (Operation Love), ceritanya tentang orang yang sedang menghadiri pernikahan sobat cewek yang dia suka trus diberi kesempatan untuk time travel buat confess, yang selalu gagal. Sementara Kame pernah main jadi siswa bermasalah di drama Gokusen. Drama ini keren lho! Nakama Yukie main jadi guru yang sebenernya pewaris utama keluarga Yakuza, jadi kalo ada siswanya yang digangguin ama suatu geng, dia pukulin tuh semua yang ganggunya. Ahaha… satu cewek mungil gebukin satu geng, impossible banget ga siy? :D Anyway, kok jadi kemana-mana ya? Ketahuan saya penggemar para brondong ini, huhuhu… Sebenernya saya bukan mau ngebahas Shuuji yang di musik j-pop ataupun j-dorama, tapi Shuuji yang lain. Ganti topik deh!

Saya pernah belajar bikin shuuji. Shuuji yang ini (nggak pake Akira) adalah kaligrafi tulisan Jepang. Seperti kaligrafi tulisan Arab yang kita kenal, pada shuuji juga dikenal tebal-tipis coretan untuk menghasilkan efek penekanan yang diinginkan. Penulisan karakter kanji dalam pembuatan shuuji punya urutan tertentu dimana harus mulai dan berakhir, jadi belajarnya nggak bisa sebentar. Pembuatan shuuji tidak lepas dari beberapa pendukung, yaitu fude (kuas kaligrafi), sumi (tinta kaligrafi), suzuri (batu tinta?), washi (kertas Jepang), shitajiki (tatakan kertas), dan bunchin (pemberat kertas). Kebetulan kami belajar bikin shuuji di salah satu pabrik sumi di daerah Nara. Jangan bayangin pabrik gede ya, ini kayak home made industry yang sudah bertahan ratusan tahun. Yang diproduksi disini bukan tinta berbentuk cair seperti yang lazimnya kita kenal untuk stempel seaworld ataupun celup jari pas pemilu, hehehe… Sumi yang dibuat berbentuk ink stick, batang tinta sepanjang jari tangan, dengan ketebalan dua jari. Seperti umumnya tinta, bahan dasar sumi adalah arang kayu yang dicampur dengan perekat hewani seperti putih telur atau kulit ikan, dan bahan-bahan lain yang saya nggak hafal. Cara membuatnya: bahan-bahan tersebut dicampur dalam proporsi tertentu sampai membentuk suatu adonan yang dipotong-potong kemudian di press dan dicetak dalam suatu molding kotak besar bersekat seukuran ink stick yang diinginkan. Ink stick yang dihasilkan ini masih lembek, sehingga harus dikeringkan dulu secara perlahan. Kesalahan dalam proses pembuatan bisa berakibat tinta retak saat dikeringkan. Setelah melihat proses pembuatan tinta, saya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lain untuk mulai belajar menulis nama untuk dibuat shuuji. Berhubung saya bukan orang Jepang / China, tidak ada karakter Kanji yang bisa digunakan untuk menulis nama saya. Tidak juga dengan Hiragana, karena karakter tersebut biasa dipakai untuk kata-kata yang kanjinya sudah tidak digunakan ataupun tidak diketahui. Alhasil, alih-alih pake Kanji ataupun Hiragana, nama saya dikonversikan mentah-mentah per suku kata pakai karakter Katakana. Ya, memang katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata dari bahasa asing yang akan diserap dalam Bahasa Jepang. Sukses mencorat-coret kertas bekas dengan bolpen untuk belajar menulis katakana, saya siap untuk mulai menulis pakai fude. Pertama harus dipastikan kertas (biasa, belum pakai washi beneran) yang kita pakai berada diatas shitajiki, supaya nanti tintanya nggak nembus ke meja. Bunchin diletakkan diatas kertas supaya nggak geser-geser waktu ditulisin. Sumi dibasahi sedikit ujung bawahnya, diposisikan vertical terhadap suzuri, dan digosokkan memutar seperti sedang mengaduk adonan kue. Cairan tinta mulai menyebar dari ujung yang dibasahi. Semakin lama proses tersebut, semakin tinggi tingkat kepekatan tinta yang dihasilkan. Begitu dapat level yang diharapkan, saya ambil fude, trus dicelupin ke tinta diatas suzuri. Goresan pertama, cuma garis dari atas kebawah sih, maunya tebal diatas – tipis dibawah seperti yang diajarin, tapi hasilnya cuma garis tak beraturan, luruspun tidak, dengan ketebalan yang nyaris sama. Kegagalan attempt one membuat penasaran. Coba lagi… lagi… dan lagi… sampai akhirnya kertas pertama penuh coretan garis vertical yang nggak jelas. Kertas kedua, mulai mencoba menulis namaku dalam katakana, diulang sampai kertas penuh, masih belum OK. Berhubung lirik kanan-kiri udah pada mulai nulis di washi, saya beranikan diri corat-coret langsung di kertas bagus itu. Voila! Jadilah shuuji pertamaku. :D setelah selesai bikin shuuji, kami diberi sumi yang masih lunak untuk dikepal beberapa saat sampai tercetak lekuk-lekuk jari, dan diberikan sebagai souvenir. Sumi tersebut dibungkus kertas seperti tissue dan dikemas dalam kotak kayu eksklusif. Kami juga diberi kenang-kenangan sebatang sumi lain dalam kotak, yang katanya sudah berumur cukup tua. Oya, sumi itu seperti wine, semakin tua umurnya, semakin mahal harganya. Hmm… kalo gitu kita lihat seberapa mahal tinta saya bisa dijual nanti, hehehe… nggak ding. Saya mau simpan aja buat kenang-kenangan.

Wednesday, July 28, 2010

25 July – Akihabara

Biasanya kalo ada teman yang ke Jepang suka pada dititipin nyari alat elektronik. Rata-rata titipan teman berkisar antara kamera digital baru sampai laptop second hand. Waktu itu belum jaman netbook bikinan China, jadi emang masih murahan beli laptop second. Beberapa kali saya menemani teman berbelanja ke satu daerah favorit, namanya Akihabara Denki Gai (Kota Elektronik Akihabara), singkatnya disebut Akiba. Lokasinya sih dari stasiun Tokyo deket banget, cuma satu station, kalo niat mo jalan kaki juga bisa. Masalahnya saya tinggal di daerah Yokohama, jadi agak perlu waktu n duit ekstra kalo mo kesana. Uniknya Akihabara, disana hampir semua toko jualan elektronik baik baru maupun bekas. Saya pernah masuk ke salah satu toko, ada kali tingginya 7 lantai. Masing-masing lantai ada tema-nya, misalnya lantai pertama kamera digital, lantai kedua laptop, lantai ketiga PC & peripherals, lantai empat TV, audio-video, game console lengkap ama stik & asesorisnya, lantai lima peralatan elektronik rumah tangga kayak setrikaan, pengikal rambut (orang Jepang ga butuh catok pelurus, rambut mereka udah disetrika di perut ibunya), mixer, sampai ke penghangat dudukan toilet, lantai enam jam dinding dan jam tangan, dan lantai paling atas souvenir. Itu baru satu toko, udah berasa satu mall, hehehe… Saya sih nggak kebayang gimana cara mereka bersaing, karena harga yang ditawarkan seperti sudah standar. Menurut saya, percuma juga capek keluar masuk satu deretan toko untuk cari satu barang kalau harganya cuma selisih ratusan yen. Nggak seperti teman-teman lain yang dari menabung allowance harian bisa bawa pulang laptop atau kamera digital, uang saya sudah habis buat tiket kereta kemana-mana, jadi pulang cuma bawa foto-foto yang sebagian dipakai untuk melengkapi blog ini. Alhasil, kalo jalan-jalan ke Akihabara ya cuma cuci mata doang, soalnya ga bakal beli.

Ada beberapa Duty Free shop favorit teman saya, yaitu Laox, Akky, dan Onoden. Ketiganya berada di satu jalan utama, Chuo Avenue, yang membelah Akihabara dari utara ke selatan. Kalo hari Minggu, jalan besar itu ditutup lho, kayak Jalan Dago pas car free day. Jadi aja kita bisa berdiri di tengah jalan tanpa takut ketabrak mobil. :p Beberapa toko memiliki pramuniaga yang bisa berbahasa asing, dengan harapan terjadi komunikasi yang lebih baik dengan calon pembeli. Saya pernah disapa seorang pramuniaga ketika sedang melihat-lihat, ditanya dari mana asal saya. Waktu saya bilang Indonesia, dengan cepat dia memanggilkan pramuniaga yang berasal dari Indonesia. Berhubung saya cuma window shopping, saya bilang ama si Mas-mas itu supaya nggak usah nemenin. Eh, dia ngikutin kemana saya pergi. Kesel, saya keluar dari toko itu trus masuk ke toko sebelah yang ga ada pramuniaga 'impor'-nya. Saya memang jahat. :p


Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh teman saya: apakah beli elektronik di Akihabara bener-bener murah? Hmm... kalo kata saya sih enggak juga ya. Sebelum pergi biasanya saya ingetin temen yang dititipin usahakan beliin barang yang ada garansi international & ada manual book bahasa Inggris. Kadang saya juga bantu teman yang mo nitip untuk browsing dulu spec alat elektronik pesanan di toko online lokal. Konversikan harganya ke currency yen saat ini, nah segitulah patokan harga tertingginya. Kan kita cari barang yang lebih murah, bukannya lebih mahal. Browsing juga barang dengan spec yang dekat dengan pesanan, karena ga semua model available di semua negara. Terbukti, pas hunting disana, biasanya barang (baru) yang diincar harganya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalaupun lebih murah, pasti buku manualnya Bahasa Jepang & nggak garansi international. Nanti kalo suatu saat rusak, meskipun masih dalam masa garansi, bakal repot nge-claim-nya. So, cintailah Indonesia, beli di deket rumah aja. :D

Tuesday, July 27, 2010

24 July - Hello Kitty

Hari ini saya pake pensil bergambar Hello Kitty. Ada yang gak kenal Hello Kitty? Jaman saya kecil, sebelum kenal Doraemon, kucing kartun yang saya kenal adalah Garfield dan Hello Kitty (disini spelling-nya jadi Harro Kitty, xixixi…). Meja belajar saya penuh dengan stiker kedua macam kucing tersebut, sampai-sampai gambar aslinya nggak kelihatan lagi. Nah, di negara asalnya, banyak sekali ditemukan merchandise si kucing putih berpita keluaran Sanrio ini. Hampir di setiap stasiun kereta besar selalu ada yang jual pin / gantungan kunci / cellphone charm. Kalau di pertokoan variasinya lebih banyak, berbagai stationery sampai ke asesoris interior mobil. Uniknya, pakaian Hello Kitty di tiap lokasi berbeda-beda, meskipun sama2 pakai kimono. Lumayan tuh buat yang demen kucing ini, bisa buat dikoleksi atau tuker-tukeran. Yang pake pakaian biasa juga ada, background-nya disesuaikan sama daerahnya. Misalkan di Kamakura, ada item yang namanya ‘Sanrio Gotouchi Hello Kitty Kanagawa Limited Kamakura Kannon-sama Netsuke Cell Phone Strap’. Hayah… panjang aja! Asal tau aja, barang itu cuma gantungan henpon kecil bening bergambar si kucing merem sambil duduk bersila macam Buddha diatas bunga teratai besar berwarna pink, bahkan pita di kuping kirinya pun berupa bunga teratai pink yang matching. *baru tau kucing bisa duduk bersila, ahahaha… ada-ada aja. Pernah di airport lihat gantungan hp Hello Kitty pake baju pramugari sambil nyeret koper, ada juga yang versi pilot-nya. Pernah juga saya dikasih omiyage (oleh-oleh) sekotak kue berisi kacang merah, yang berbentuk kepala si kucing. Pas mo gigit sempet ga tega siy… tapi ternyata kuenya enak. :p Omong-omong kue, ada toko kue yang di etalasenya memajang robot Hello Kitty setinggi orang, ceritanya dia lagi giling adonan kue. Ckckck…

Monday, July 26, 2010

23 July – Kabuki

As you may know, kabuki itu semacam pertunjukan drama teatrikal berisi musik dan tarian. Mungkin kalo dicari persamaannya di Indonesia, mirip dengan pertunjukan wayang orang. Jadi di jamannya Tokugawa Ieyasu (yup, dia lagi dia lagi...) berkuasa, kabuki pertama di tahun 1600an itu yang main cewek semua lho! Karena dinilai terlalu erotis, para performer-nya 'bisa dipake', dan dimainkan di area 'lampu merah', akhirnya kabuki wanita (onna-kabuki) dilarang di tahun 1629. Kabuki muncul lagi dengan format pemain laki-laki semua (yaro-kabuki) beberapa waktu kemudian, dan itu bertahan sampe sekarang. Siapa sih yang nggak penasaran untuk lihat para pria (bukan banci) berbedak tebal yang bermain sebagai wanita? Kalo saya sih penasaran. :D

Saya merasa beruntung pernah menonton performance kabuki langsung di Kabuki-za Theatre. Lokasinya di Higashi Ginza, bagian dari daerah pertokoan Ginza yang terkenal sebagai Avenue des Champs-Élysées -nya Tokyo. Bagian depan bangunan Kabuki-za lumayan lebar dibandingkan bangunan lain disekitarnya, jadi nggak susah deh nyarinya. Dari luar bangunannya tampak oldies tapi masih tetap megah dengan beberapa lantern & spanduk didepannya. Waktu itu saya dan beberapa teman membeli tiket pertunjukan matinee (namanya matinee a.k.a afternoon performance tapi mainnya jam 11 pagi :p). Kami mendapatkan sepotong tiket, satu pamflet tentang pertunjukan yang sedang berlangsung, & satu set transceiver (kombinasi radio transmitter & receiver alias HT) beserta earphone. Iseng kuputar-putar, ternyata ada beberapa channel, tapi cuma dua yang kutangkap yaitu Bahasa Inggris & Bahasa Jepang. Begitu masuk ke ruangan, kami menempati tempat duduk yang tidak bernomor. Wah, berarti dulu-duluan pilih tempat duduk dong, pikir kita. Karena kebiasaan nonton bioskop di Bandung, saya pilih di tengah deretan paling belakang. Oya, deretan tempat duduknya bertingkat mirip seperti di bioskop, tapi lebih curam. Bentuknya barisannya seperti huruf U, dengan balkon di deretan kanan dan kiri. Saya mengedarkan pandangan, jumlah tempat duduknya banyak sekali, sepertinya lebih banyak daripada yang ada di Cineplex 21. Pertunjukan sudah hampir mulai, tapi masih ada beberapa bangku kosong. Pikiran saya melayang ke pertunjukan wayang orang yang pernah saya tonton di Surakarta – Jawa Tengah, kondisinya sangat menyedihkan. Kursi kayu yang sudah sedikit reot dibuat berjajar menghadap panggung, dalam satu ruangan Gedung Sriwedari yang remang-remang itu jumlah penonton masih bisa dihitung dengan jari tangan. Pemain wayangnya sudah nggak bisa lagi menyembunyikan wajah keriput mereka dibalik make-up tebal, mereka juga rata-rata kurus sekali. Setelah pertunjukan wayang orang selesai, baru saya sadari bahwa diantara penonton yang bukan bule cuma saya dan keluarga pakdhe saya (suami-istri+2 anak). Kembali ke Kabuki-za, saya coba-coba mengabadikan panggung sepanjang 30meter-an yang layarnya masih tertutup, salah pencet, jadinya malah video pendek. Salah satu teman mengingatkan bahwa tidak boleh mengambil gambar dalam ruangan teater ini. Jadilah saya urung berfoto-foto dan hanya membaca pamflet yang tadi dibagikan sambil menunggu layar terbuka.


Layar terbuka diiringi suara tok-tok-tok dari salah satu instrument musik. Oya lupa bilang, para pemain musik itu ada di sisi kiri saya, di depan panggung. Tampak di panggung ada semacam rumah tanpa dinding, didalamnya ada seorang pria berpakaian kuno dengan gaya rambut botak didepan & rambut diikat dibelakang. Dia bersuara melengking, entah berbicara atau menyanyi, yang jelas saya nggak lihat ada microphone, sementara suaranya terdengar lantang setidaknya sampai deretan saya. Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan, nggak ada satu kata pun yang bisa saya tangkap. Saya iseng memutar channel ke Bahasa Jepang, tapi yang diomongin beda ama yang di panggung. Sama-sama nggak ngertinya, saya pasrah kembali lagi ke channel audio Bahasa Inggris. Terjemahannya nggak kalimat per kalimat, tapi jadi kayak sinopsis cerita yang sedang dipentaskan. Ah, ga seru! Pengen tau kan, dia lagi ngomong apa. Nggak berapa lama ada sosok perempuan, wajahnya tak terlihat, mereka berkomunikasi dengan nada seperti menyanyi. Kemudian ada seorang pria berpakaian tampak mewah, membunyikan bel di pagar & orang yang tadi didalam rumah keluar untuk membuka pagar, trus mereka ngomong-ngomong lagi. Tanpa menutup layar, adegan berganti di sisi panggung yang lain yang setting-nya seperti jembatan diatas sungai dalam hutan. Kali ini ada sepasang laki-laki & perempuan, mereka menghadap ke arah penonton. Asyik, ini yang saya tunggu-tunggu. Saya berusaha memperhatikan si ‘wanita’, yang pastinya diperankan oleh pria. Gerak-geriknya betul-betul gemulai, seperti wanita beneran. Dia pakai kimono wanita, pakai geta (sandal jepang yang kayak bakiak), bersanggul khas Jepang dengan tusuk konde yang pake gantungan berkilauan, bawa tas kecil & kipas. Mukanya benar-benar lukisan, aslinya udah sama sekali nggak kelihatan. Garis mukanya cuma terlihat alis yang dibentuk melengkung, bibir yang merah menyala, serta pipi seputih kertas yang diberi blush on warna pink. Saya jadi nyesel duduk jauh dari panggung, soalnya ga bisa merhatiin dengan jelas. Meskipun saya nggak bisa nangkep percakapannya sama sekali dan nggak terlalu jelas lihat raut muka, hanya dengan melihat gerak gerik mereka dan intonasi suara, saya bisa menangkap mereka sedang marah, sedih, senang, ataupun kecewa. Hebat sekali ya teater itu.

Intinya yang saya tonton waktu itu berjudul Shuzenji Monogatari yang menceritakan tentang seorang mask-carver (pembuat topeng) yang ditugasi oleh seorang shogun untuk membuat topeng mukanya. Si pembuat topeng yang bernama Yashao itu punya dua orang anak perempuan, namanya Katsura dan Kaede. Katsura nggak puas hidup di desa dan pengen merubah nasib untuk jadi orang terhormat, sementara Kaede cukup puas jadi istri Hirohiko, seorang pengikut Yashao. Shogun Yoriie datang menagih topeng mukanya, tapi Yashao meminta maaf karena pesanannya nggak jadi-jadi karena dia sedang kurang fokus. Setiap coba bikin dan gagal, topengnya dihancurkan lagi. Katsura bawa topeng terakhir yang dibuat ayahnya, Yoriie bilang ini udah bagus & meskipun Yashao protes, Katsura tetep kasih topengnya ke Yoriie. Singkat cerita, Yoriie suka ama Katsura trus minta ijin ama Yashao untuk menikahi Katsura. Waktu mereka pergi, Yashao ngancurin semua topeng yang udah dia bikin karena menurutnya membiarkan satu topeng gagal lolos keluar adalah kegagalannya sebagai seniman. Ternyata Yoriie itu Shogun-nya cuma nama doang, sementara kekuasaan masih dibawah kendali Masako (ibunya) dan Regent Yoshitoki. Kanakubo dari Kamakura datang untuk membunuh Yoriie, jadi Yoriie & Katsura berusaha melarikan diri dibantu oleh Hirohiko. Waktu Hirohiko datang, Kaede & Yashao lega, tapi mereka masih mengkhawatirkan Katsura. Ketika ada seorang prajurit terluka yang roboh didepan gerbang rumah mereka, mereka menemukan bahwa prajurit itu adalah Katsura yang menyamar dengan mengenakan topeng Yoriie. Ya, mungkin saya nggak pinter nyeritainnya lagi, tapi gitu lah pokoknya. Hehe.. *ketawa garing

BTW, saya menulis tentang Kabuki karena seorang teman memberitahu saya, saat ini Kabuki-za Theatre sudah ditutup untuk direkonstruksi, dan rencananya baru akan dibuka lagi 3 tahun lagi yaitu tahun 2013. Alasan dilakukannya rekonstruksi tersebut adalah kerentanan bangunan tua tersebut terhadap gempa bumi yang sering terjadi di Jepang. Hmm... lama juga ya. Katanya sih ntar tampak depan bakal dibangun menyerupai kondisi sebelum dipugar, tapi gedungnya akan jadi 43 tingkat. Hohoho…

22 July – Saru

Kapan terakhir kali kamu banyak menulis? Menulis pakai bolpen, bukan ngetik di keyboard. Terakhir kali saya banyak nulis, itu waktu ujian akhir kuliah yang essay. Udah lama siy… kalau sekarang paling cuma sesekali nulis di agenda pas meeting. Ide ngetik blog ini karena di agenda saya ada bolpen bergambar Tokyo Tower, menara TV yang bikin saya tersasar di tulisan Lost in Japan. Bolpen itu kenang-kenangan dari teman saya di Thailand. Ceritanya pas saya ke Bangkok, dia baru pulang dari Jepang. Dia ga punya souvenir khas Thai, jadi kasih itu sebagai oleh-oleh dari Jepang. Modelnya sih biasa aja, standar yg dijual di Narita Airport, biarpun begitu, saya senang karena gambarnya Tokyo Tower. Bolpen itu jarang buat nulis pastinya, karena saya lebih sering mengetik di laptop dibandingkan menulis dengan bolpen. J
Nah, bolpen ini mengingatkan saya suatu waktu, dimana saya baru sampai pelataran Tokyo Tower. Saat itu ada semacam topeng monyet disana. Monyet dalam bahasa Jepang disebut ‘Saru’. Saya suka nggak tega kalo liat topeng monyet, tapi saya penasaran pengen tau, apakah ada scene ‘Sarimin pergi ke pasar’? :p Ternyata pertunjukan ini lebih ke akrobatik. Ada dua balok dengan beberapa anak tangga diletakkan berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Si Saru naik tangga dari salah satu balok, meloncat ke balok seberang, kemudian turun dari balok tersebut. Jarak antar balok sedikit direnggangkan, si Saru masih tetap bisa loncat. Begitu terus sampai jarak antar balok direnggangkan dengan jarak yang tampaknya tidak mungkin dijangkau dalam sekali lompatan. Saru naik ke balok, mengangkat tangan kanannya horizontal diatas mata seperti sedang memandang jauh ke seberang, menatap pawangnya, dan mengangkat tangan tanda menyerah. Kurang lucu ya kalo saya yang cerita? Padahal waktu itu semua orang di pelataran Tokyo Tower, ngakak abis lho! Hmm… nantilah saya belajar bikin cerita yang lucu. Omong-omong belajar, Saru ini mengajariku sesuatu. Saat pawangnya bilang ‘hidari’, Saru mengangkat tangan kirinya. Sementara saat si pawang bilang ‘migi’, Saru mengangkat tangan kanannya. Dari Saru-lah saya belajar bahasa Jepang untuk kanan dan kiri, yaitu migi dan hidari. Ah, hari ini memang saya sedang garing. Nulis eh ngetik apaan siy dari tadi, ga jelas gini. XD

Friday, July 23, 2010

21 July - Lost in Japan

Bukan… ini bukan judul film. Tapi beneran cerita tentang pengalaman saya tersesat (atau lebih tepatnya menyasarkan diri) di Jepang.
Tidak seperti kebanyakan teman perempuan, saya bisa membaca peta. Meskipun demikian, memegang peta yang benar dan menghadap ke arah yang benar bukanlah jaminan untuk tidak tersesat. Kalau masih ingat, di akhir cerita saya tentang Imperial Palace, dari Higashi Koen saya berencana untuk kembali ke Stasiun JR Tokyo tempat saya datang. Apa mau dikata, di perempatan jalan saya melihat Tokyo Tower yang (di peta) tampak dekat. Penasaran, saya teruskan berjalan kaki mengikuti jalan tersebut ke arah si menara TV, tanpa memperhatikan peta yang saya pegang. Bisa ditebak, beberapa menit kemudian saya kehilangan arah. Di kejauhan terlihat rel kereta api, tapi saya tak punya ide harus berjalan ke kanan atau ke kiri untuk mendapatkan stasiun terdekat. Tiba-tiba saya teringat, bahwa hampir di setiap perempatan besar, ada peta yang terpasang di dekat lampu lalu lintas. Saya setengah berlari kembali ke perempatan berikutnya, dan… tadaaaa… tampak ada peta segede template A0 di seberang jalan. Nyaris tak sabar untuk melintasi penyeberangan karena tak ada mobil melintas. Tapi, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Selama di Jepang saya berusaha berperilaku seperti orang lokal yang sangat disiplin berlalu lintas, jadilah saya memelototi lampu pejalan kaki dengan harapan dia cepat menyala hijau. :p Bip.. bip… lampu hijau menyala bersamaan dengan bunyi tanda aman menyeberang untuk tuna netra. Dengan sukaria saya menyeberang untuk mendapati peta… yang ternyata beraksara kanji. *dang! Kuciwa berat. Saya berusaha mencari titik / panah merah bertuliskan “you are here” tapi tetap saja saya tak menemukannya. Huwaaa… Tengak-tengok, tampak sepi, setelah beberapa saat ada seorang nenek lewat. Yah, nenek-nenek mah biasanya nggak ngerti Bahasa Inggris. Bener aja pas ditanya dia bilang ga bisa bahasa Inggris. Dengan Bahasa Jepang ala kadarnya, kucoba tanya dimana stasiun kereta terdekat. Ga diduga, jawabannya kurang lebih: dari sini terus ke utara, nanti belokan kedua kekiri, terus ampe lihat taman, puterin, trus belok ke kanan, nah dari situ tinggal lurus aja nanti ketemu stasiun. *gubragh! Udah mah si nenek ngomongnya cepet, kosa kata saya cuma bisa nangkep utara-kiri-taman-kanan-stasiun, ampun deh. Kucoba menyembunyikan tampang begoku dengan tersenyum sambil bilang minta maaf, saya nggak ngerti, bisa tolong diulang pelan-pelan? Dengan sabar si nenek mengulangi penjelasannya pelan-pelan, tapi saya tetep nggak ngerti juga. Saya bilang terimakasih tapi sayang saya tetep nggak ngerti, gapapa kok, saya cari sendiri aja. Tiba-tiba nenek itu meraih lengan jaket saya, mengajak jalan bersama sambil mengulangi penjelasannya, kurang lebih: ini lho yang saya bilang kita terus ke utara… jadi ini belokan keduanya, kita belok kiri… nah ini tamannya, ayo kita belok kanan, nah sekarang kamu lihat lurus di depan? Itu dia stasiun yang saya bilang. Saya yang sedari tadi cuma berjalan sambil berusaha mendengarkan si nenek, terkesiap - ternyata benar stasiun sudah kelihatan. Cukup jauh jarak dari titik ini ke tempat saya memandangi peta tadi. Tak henti-henti saya membungkukkan badan sambil berterimakasih sampai si nenek menghilang dari pandangan, lalu berjalan menuju stasiun. Ternyata benar, keramahtamahan tak mengenal perbedaan bahasa.

Suatu hari ada meeting di site lain after lunch, tentu saja saya dan teman-teman lain yang ikut meeting merasa senang karena ga perlu ngantor dari pagi. Disusunlah rencana, ada yang mau jalan-jalan cari elektronik ke Akihabara, ada yang mau cari alat pancing di daerah Ueno, dan saya sendiri punya agenda khusus: menambah koleksi topi HRC. Berhubung lokasi yang dituju sama-sama seputar Ueno, maka kami bersama-sama kesana. Di stasiun Ueno kami berpisah dan janjian untuk ketemu disuatu lokasi, dua jam kemudian. Lokasi HRC sangat mudah ditemukan, karena masih berada dalam stasiun Ueno. Sayangnya, pagi itu belum buka, karena rata-rata toko di Jepang buka pukul 10 pagi dan tutup jam 8 malam. Jadilah saya hanya memutari pertokoan sambil menunggu HRC buka, sementara teman-teman pergi entah kemana. Begitu toko buka, saya langsung membeli beberapa merchandise yang sudah diincar sebelumnya, lalu lari mengejar kereta menuju site. Ternyata site ini lokasinya nggak mudah dicapai, udah mah pake ganti kereta lokal di stasiun kecil yang ga ada petunjuk pake romaji (tulisan latin), nantinya kudu naik bus. Karena buru-buru, saya salah naik kereta. Sadarnya pas udah tiga stasiun, kok perasaan ga nemu nama stasiun yang seharusnya dilewati. Catatan: saya nggak bisa baca kanji, jadi saya foto timetable dari stasiun asal untuk tau stasiun mana aja yang seharusnya dilewati, kemudian dicocokkan kanjinya seperti mencari sepuluh perbedaan. Itu dilakukan dalam waktu singkat saat di stasiun pintu terbuka sekitar 1-2 menit sehingga saya bisa melihat gambar / tulisan kanji nama stasiun tempat kita berhenti. Di stasiun ketiga saya keluar dan mencari timetable. Bener aja, saya berada tiga stasiun dari tempat ganti kereta tadi, tapi di arah yang berlawanan. Berlari-larilah saya naik turun tangga ke platform seberang (nggak bisa asal nyebrang rel kayak di Bandung), supaya bisa dapat kereta ke arah yang benar. Waktu saya sudah banyak hilang, jadi menunggu kereta kali ini berasa lama banget. Sesampainya saya di stasiun tujuan, sudah lewat 15 menit dari jam yang disepakati. Tentu saja teman-teman saya sudah pergi duluan. Nggak mau ambil resiko naik bus salah lagi, saya langsung berjalan ke platform taxi untuk menuju ke site. Untungnya sopir taxi langsung mengerti tujuan yang saya jelaskan dengan bahasa gado-gado. Singkat kata sampailah saya ke site, bayar taxi, dan melesat ke pos satpam. Teman-teman masih menunggu disana, karena para satpam tidak mengerti mereka harus menghubungi siapa. Lagi-lagi masalah komunikasi. Kukeluarkan kartu nama orang yang akan kami temui, barulah para satpam mengangguk-angguk dan memutar extension si empunya nama. Di ruang meeting, bapak bos besar yang sudah duluan datang memasang muka sangar. Dia meminta semua site member untuk memberi waktu buat kami, kemudian menutup pintu. Yup, kami diomelin. Terlambat itu tampaknya setara dengan dosa besar. Yang biasa kita anggap ‘ngaret’ alias ‘telat dikit’ di Indonesia, disini sama sekali tidak bisa ditolerir. Kami hanya bisa menunduk dalam-dalam, seselesainya beliau berceramah, barulah kami meminta maaf.

Kadang-kadang, saya tersasar bukan semata-mata karena nggak tau jalan. Saya dan teman saya selalu berangkat dan pulang kantor dengan satu-satunya monorail lokal di jalur seaside line. Jarak penginapan dan stasiun tempat kita turun untuk nyambung jalan kaki ke kantor cuma 5 stop, jadi kadang di jam sibuk kami pilih berdiri soalnya kalo dah duduk pasti nanti susah turun karena kehalang orang yang berdiri. Karena kami pulang kantor sore hari, matahari lagi cantik-cantiknya menjelang sunset. Biasanya saya suka memandangi kapal-kapal yang lewat atau roller coaster di Sea Paradise, sementara teman saya memperhatikan pemancing yang tampaknya sangat mudah mendapat ikan. Begitu kereta datang, pandangan kami terhalang. Otomatis kami masuk ke kereta, sambil melanjutkan bengong memandangi kapal-kapal, roller coaster, dan pemancing tersebut. Satu stasiun kemudian, kami baru menyadari bahwa kereta ini menjauh dari pelabuhan. Kami salah kereta! Dengan tertawa-tawa kami turun di stasiun tersebut untuk menyeberangi platform dan menunggu kereta yang ke arah berlawanan. Segitunya tiap hari pake kereta yang sama, kok bisa-bisanya salah naik gara-gara bengong, ga saling ngingetin lagi. Parah! :p

Thursday, July 22, 2010

20 July - Nagoya

Ini Nagoya yang di Jepang ya, bukan di Batam. :D Seperti yang sempat saya singgung di tulisan mengenai Imperial Palace, saya datang ke Tokyo pakai Tokaido Shinkansen dari Nagoya. Kota ini adalah ibukota Aichi Prefecture dan termasuk empat besar kota berpopulasi tertinggi di Jepang. Waktu saya datang pertama kali ke Nagoya, bandaranya masih yang lama, belum pindah ke Chubu Centrair. Di kota inilah pertama kali saya melihat Karakuri Ningyo, tepatnya di Toyota Museum. Meskipun Aichi Prefecture berada di pesisir pasifik pulau Honshu, waktu itu saya tinggal di Toyota city [35°5N 137°9E / 35.083°N 137.15°E / 35.083; 137.15] daerah Mikawa (sebelah timur Nagoya) yg nota bene daerah pegunungan. Bener-bener berasa di dusun antah berantah deh, buka jendela kamar aja pemandangannya hutan. Praktis saya ga pernah buka-buka jendela lagi kalo malam, takut ada hantu yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. :p





Enak sih udaranya, di musim panas aja saya masih berjaket kalo pagi & malam. Saking bosennya sama daerah pegunungan, saya mengajak teman yang orang Filipina untuk jalan-jalan ke pelabuhan Nagoya. Disini ada Nagoya Public Aquarium, akuarium besar berisi lumba-lumba, asyik… I always love seaworld. Sesampainya kami disana, ternyata untuk masuk seaworld tiketnya lumayan mahal. Gapapa deh, takut ga sempet lihat laut lagi selama di Jepang. Tentu saja tidak hanya lumba-lumba yang ada disana, tapi dari berbagai macam ikan dari lima benua sampai penguin pun ada. Lagi asyik-asyiknya memperhatikan sepasang lumba-lumba yang berkejaran dibalik dinding kaca seluas layar bioskop 21, tiba-tiba ada seorang bapak yang jatuh dan kejang-kejang. Para petugas seaworld bergerak cepat ada yang mengecek kondisi bapak itu, ada yang langsung mengambil kursi roda, ada juga yang saya dengar memanggil ambulans dari telepon genggamnya. Wah, sigap sekali orang-orang ini ya. Dalam waktu singkat, bapak itu sudah dibawa keluar. Mungkin dia ada phobia kali ya… apa itu istilahnya? Kalo hydrophobia kan takut air, nah kalo takut laut kan thallasophobia, atau mungkin phallainophobia alias takut ikan paus. Kasian juga. Saat kami makan di foodcourt seaworld, ternyata kami bertemu teman satu penginapan yang berasal dari Chile. Teman Filipin saya lupa namanya, tapi dengan semangat memanggilnya “Hey… Chile!”. Haduh, bikin malu. Belakangan saya agak menyesal bela-belain pergi ke pelabuhan Nagoya, sementara sisa waktu saya di Jepang akan tinggal di daerah pesisir Yokohama.



Disini nggak terlalu banyak obyek wisata, tapi lumayanlah saya sempat jalan-jalan ke Nagoya Castle dan Osu Kannon. Ceritanya tahun 1610, Tokugawa Ieyasu mindahin ibukota propinsi Owari dari Kiyasu ke Nagoya. Yup, Tokugawa Ieyasu itu orang yang sama yang mindahin ibukota Kyoto ke Tokyo. Kayaknya emang dia hobi mindah-mindahin ibukota deh… *apa sih? :p Nagoya Castle tuh dibangun dari material yang diambil dari Kiyasu Castle. Nggak cuma itu aja, selama pembangunan istana baru ini, seluruh kota termasuk 60ribu penduduk lengkap dengan kuil-kuilnya dipindahin juga ke sekitar Nagoya Castle. Woohoo! Ini baru namanya bedol kota. Nggak seperti Imperial Palace yang tertutup karena masih ditinggali Kaisar dan keluarganya, Nagoya Castle dibuka untuk umum sebagai objek wisata. Lokasinya ga terlalu jauh dari Nagoya station, trus biaya masuknya standar lah, 500 yen aja. Disekitarnya banyak taman & deretan kios bunga. Berhubung ini musim panas, yang banyak ya Hydrangea macam yang ada di Hasedera, selain itu ada juga bunga Iris & Lily.Masuk dari sub donjon (bangunan yang lebih kecil, 3 lantai) saya masuk ke main donjon berlantai tujuh. Di lantai pertama ada gambar mural & dekorasi Hommaru Palace, disini nggak boleh motret pake flash. Lantai dua sedang ga ada pameran jadi langsung lanjut ke lantai 3 yang berdekorasi Jepang jaman dulu, lengkap dengan suara dan pencahayaannya. Di lantai 4 dipamerkan baju perang plus pedang, helm dan sepatunya, mirip kayak yang dipake Takezo Kensei a.k.a Adam Monroe di serial Heroes. Oya, istana ini punya hiasan spesifik berupa ikan yang disebut kinsachi alias golden dolphin yang dipasang diatap. Sebenernya ikan ini lebih mirip ikan kakap dibandingkan lumba-lumba, tapi jelek kali ya kalo di-bahasa inggris-in jadi golden carp, xixixi... Sampai lantai 5, ada replika kinsachi berukuran sama dengan aslinya, bisa diduduki untuk difoto. Yang mau ber-narsis-ria kudu ngantri karena hampir semua orang pengen difoto disana sebagai bukti pernah ke Nagoya Castle. Sayangnya saya nggak bisa naik ke observation deck di lantai 7 karena sedang ada perbaikan.

Wednesday, July 21, 2010

19 July – Karakuri Ningyo

Jepang identik dengan teknologi tinggi, salah satunya adalah kecanggihan robot buatannya. Dulu, yang terlintas dalam pikiran kalau mendengar kata ‘robot’ adalah robot fiksi pembela kebenaran semacam Voltus, Goggle V, Power Ranger, ataupun Ultraman. Sewaktu kecil, karena nggak terlalu suka boneka, saya sering main robot-robotan bertenaga baterai kotak milik sepupu saya. Robotnya berkepala kubah, dengan dada penuh panel berlampu warna-warni, tangannya berupa capit kuning, kakinya seperti melangkah tapi setelah saya jungkirkan terlihat ada roda dibawah telapaknya, dan yang paling norak setiap tiga langkah kubahnya terbuka memunculkan kepala singa kuning yang mendesis: “Hhhaaah…hhhaaah” trus menutup lagi. *gubragh* Norak sekali! Baru setelah rada gedean, baru tau kalau robot itu bisa hanya berupa lengan pemindah barang, kereta beroda yang mengikuti garis hitam, tank kecil berkamera yang digunakan sebagai alat bantu mengepung teroris, sampai Asimo yang secara fisik dibuat mirip manusia: bertangan & berkaki dua serta berjalan tegak diatas kedua kakinya. Kalau ditarik kesimpulan sederhana sih, robot itu alat mekanik yang bisa diprogram untuk menjalankan perintah tertentu dan melakukan tugas kompleks yang biasanya dilakukan oleh manusia. Dari sekian banyak jenis robot yang pernah saya lihat, ada satu yang bikin saya jatuh cinta, namanya Karakuri Ningyo.
Menurut definisi Wikipedia, Karakuri = mechanical device to tease, trick, or take a person by surprise, sementara Ningyo = boneka yang menyerupai manusia. Nggak seperti robot lain yang bisa melakukan berbagai perintah rumit, Karakuri Ningyo cuma punya satu tugas simpel: menyajikan teh. Apabila secangkir teh diletakkan pada nampan diatas tangannya, robot ini akan mulai berjalan. Dia bergerak sepanjang jarak yang sudah ditentukan, seolah-olah seperti berjalan (kakinya beneran gerak lho!), kemudian menundukkan kepalanya. Kurang lebih perilakunya sama kayak orang yang menyajikan teh ke tamunya. Nah, kalau dia dah nunduk itu artinya teh udah boleh diambil & diminum. Ga cuma mengantarkan teh, tapi dia juga bisa balik lagi. Begitu selesai minum, cangkir teh yang kosong diletakkan kembali ke nampan. Robot ini akan menegakkan kepalanya, berbalik arah, kemudian berjalan kembali ke tempat semula sambil membawa cangkir kosong tersebut. Wow!
Sebenernya kalau robot ini baru ada sekarang-sekarang ini justru jadi nggak special ya. Tapi berhubung teknologinya masih kuno, saya jadi lebih appreciate. Karakuri Ningyo (からくり人形) bukanlah barang baru, dia sudah ada sejak abad ke 17. Bukannya pake baterai kayak robot-robotan sepupu saya, robot jadul ini digerakkan oleh per yang terbuat dari tulang ikan paus, didukung dengan lever (pengungkit) & cam (semacam tuas yang mengubah gerakan memutar menjadi gerakan keatas-kebawah). Ajaib aja siy, jaman dulu ada yang kepikiran buat bikin mekanisme rumit kayak gini cuma buat menyajikan teh. :D

Tuesday, July 20, 2010

18 July – Imperial Palace

Ceritanya kan sekitar tahun 1600, Shogun Tokugawa Ieyasu, memilih Edo -suatu desa nelayan kecil dekat sungai Sumida River- sebagai ibukota shogunate. Dalam perkembangannya, Edo menjadi kota terbesar di dunia pada tahun 1600an dengan sekitar sejuta penduduk, dan kemudian berubah jadi Tokyo – ibukota Jepang pada tahun 1868. Yang asyik dari kota metropolitan ini, kita bisa jalan-jalan keliling dengan jalan kaki beneran. Pernah saking asyiknya ‘menyasarkan diri’ dengan berjalan kaki, tiba-tiba saya sampai di stasiun kereta yang jaraknya 3 stop dari stasiun tempat saya turun sebelumnya. Emang sih, jarak antar stop di stasiun kereta itu tidak terlalu jauh, tapi kan saya nggak jalan lurus dibawah rel kereta. :D Nah, salah satu tempat yang asyik buat jalan-jalan adalah seputar Imperial Palace. Berlokasi di pusat kota Tokyo, awalnya istana ini merupakan Edo Castle tempat shogunate menjalankan pemerintahan. Seperti yang saya bilang di awal tulisan, pusat pemerintahan dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo tahun 1868. Alhasil Kaisar juga pindah rumah ke Imperial Palace ini. Secara resmi Edo Castle diganti namanya jadi Kyujo a.k.a Kokyo [皇居,] a.k.a Imperial Palace.
Udah cukup pelajaran sejarahnya, ayo kita mulai jalan-jalan. Diawali dari stasiun kereta Tokyo yang arsitekturnya oldies banget, beda banget ama rata-rata stasiun kereta lain yang sudah modern. Kalo mau tau lebih lanjut siapa arsitek yang bikin bangunan tingkat tiga ini, silahkan googling aja. Katanya sih, di stasiun ini pernah ada pembunuhan Hara Takashi, Perdana Menteri Jepang waktu itu, hiy… serem. Yang jelas walaupun jadi stasiun utama di Tokyo metropolis (sekitar 3000 kereta per hari!), stasiun ini masih kalah gede ama Shinjuku station. Dulu pertama saya datang ke Tokyo bukan di Narita airport tapi di stasiun kereta Tokyo ini lho… waktu itu saya pake Tokaido Shinkansen si kereta peluru dari Nagoya. Sayangnya, waktu itu langsung ngejar kereta lain ke Yokohama, jadi ga sempat explore daerah sini. Jiah… jadi nostalgia. :p Oya, dibawah stasiun kereta ini ada underground walkways yang penuh dengan toko, café, dan restoran. Keluar dari stasiun kereta ini via Marunouchi exit, kita bisa lihat gedung kantor pos yang gak kalah jadulnya. Biarpun bangunannya jadul, Tokyo Central Post Office yang dibangun tahun 1931 ini tetep keren. Dari sini, jalan kaki menuju Imperial Palace Plaza sekitar 15 menit. Sepanjang jalan ini banyak taman yang keren, baik yang ada patungnya, air mancur, maupun yang cuma bangku dikelilingi tanaman. Sesampainya di Imperial Palace Plaza, dengan sedikit memutar kita bisa lihat Nijubashi Bridge (nijubashi bridge = double bridge) yang dibangun dari jaman Meiji. Dulunya jembatan ini terbuat dari kayu tapi udah hancur kena bom jaman perang. Oya, dari arah tertentu kita bisa dapat foto bagus lho, Nijubashi Bridge dengan background Fushimi Yagura. Bangunan yang disebut belakangan ini adalah bagian dari Imperial Palace, digunakan sebagai watchtower. Berhubung saya nggak diundang masuk untuk minum teh bersama Kaisar dan keluarganya, jadi saya cuma melipir memutari Imperial Palace Plaza berharap bisa dadah-dadah ama yang ada didalam istana sana. *lebay Ga berhasil ketemu Kaisar, saya balik arah lewat Otemon Gate untuk masuk ke Higashi Koen (higashi = timur, koen = taman). Meskipun masih wilayah Imperial Palace, ternyata gratis kok masuk ke taman ini. Sebenernya dari sini kalo mau diterusin jalan bisa lanjut ke Kitanomaru Park ama Yasukuni Shrine, tapi saya udah capek jalan n kelaparan. Yang ada juga balik kanan untuk berburu kuliner di pertokoan bawah tanah di Stasiun Tokyo, hehehe…

Monday, July 19, 2010

17 Juli – Flashpacking in Tokyo

Teman-teman saya suka nanya, apakah benar jalan-jalan di Tokyo mahal? Hmm… pertanyaan yang agak sulit jawabnya. Basically, saya jalan-jalan dengan budget terbatas. Of course, saya masih pegawai kantoran biasa yang digaji tiap tanggal 27. Saya sendiri termasuk traveler bertipe Flashpacker (à silahkan googling) dan bukannya Backpacker murni. So, untuk bisa survive di kota metropolitan yang segala serba mahal ini, perlu sedikit putar otak. Saya mau share beberapa cara.
Langkah hemat yang bisa dilakukan antara lain memangkas biaya transportasi. Kalau mau hop on & off keliling kota dalam satu hari, bisa beli one day ticket. Perlu diingat bahwa cara ini hanya akan lebih murah kalau kita bener-bener manfaatin seharian penuh keliling kota. Kalo mau pergi dan pulang hanya ke satu atau dua tujuan, mendingan pake tiket ngeteng aja beli satu-satu. Trus kalo beli tiket kereta, pastikan gak kelebihan / kekurangan bayar. Lho, bukannya bisa di refund? Iya siy… kalo kita salah beli tiket biasanya bisa tukerin ke mesin yang bertuliskan ‘Fare Adjustment’ sebelum kita keburu malu ga bisa keluar dari ticket gate. Tapi… (yup, ada tapinya) si mesin ini tak punya kembalian uang kecil. Biasanya pecahan terkecilnya adalah 100yen, jadi kalo kalian kelebihan bayar 90 yen bisa-bisa ga dapat kembalian. :p Oya, omong-omong uang kecil, biasakan bawa kantong / dompet khusus buat uang receh ya. Orang Jepang rata-rata punya kartu abonemen untuk rute yang biasa mereka lalui, tapi kadang-kadang tetep beli tiket ngeteng. Mereka adalah orang yang sangat menghargai waktu, jadi jangan biarkan mereka ngantri lama dibelakang kita hanya karena kita menunggu kembalian tiket 160yen yang kita beli pakai lembaran 1000yen, itu sangat menjengkelkan. Tips lain adalah bus biasanya lebih murah dari kereta untuk rute dalam kota. Biasanya orang luar suka malas pakai bis, karena ga bisa basa Jepang, ngerasa ribet bayarnya. Sebenernya naik bus itu simple & ga ribet kok, yang penting kita tau tempat naik & turun yang bener. Biasanya kita naik dari pintu tengah (ga da pintu belakang) sambil ambil tiket yang bertuliskan nama halte tempat kita naik. Ga bisa baca? Gapapa, silahkan duduk manis & cocokin tulisan itu (anggap aja gambar) ama yang ada di panel diatas kaca depan. Nah, panel itu juga menunjukkan berapa ongkos yang harus kita bayar, akan bertambah di setiap halte. Kalo mo turun tinggal pencet bel, ntar pas berhenti di halte, kita bayar (ingat pake uang pas) dimasukkan dalam kotak disamping sopir. Masih kurang murah juga? Jalan kaki! Eh, ini ga becanda lho… Jalan kaki disana sangat nyaman, karena trotoarnya lebar dan ga naik turun karena dirancang selain buat pejalan kaki juga untuk orang berkebutuhan khusus (pemakai kursi roda) dan sepeda. Jangan marah kalau ada sepeda di trotoar ya, memang mereka sharing jalan ama kita. Jalan beraspal jatahnya mobil, jarang lihat motor disana. Cuma ya kalo jalan kaki kudu siap perlengkapan perang seperti topi & jas hujan. Ga usah repot-repot bawa payung, soalnya walopun disana ga ada ujan gede, gerimisnya bonus angin kencang, sayang payungnya nanti malah patah. Waduh, cerita hemat transportasinya jadi kemana-mana.
Lanjut ke langkah hemat berikutnya, biaya makanan & minuman. Hemat tidak sama dengan nggak makan / minum lho ya… saya penganut makan berat tiga kali sehari plus ngemil. Kalo mau dipangkas mungkin bagian ngemilnya, tapi makan berat tetap tiga kali. Sarapan, biasanya dapat gratisan dari penginepan, just in case ga ada yg gratisan, bisa makan buah-buahan dan sandwich yang bisa dibeli satuan di convenience store macam 7/11. Untuk yang muslim perlu extra hati-hati memilih sandwich, karena kalo pake sosis / salami / dagin asap, hampir bisa dipastikan kalo itu daging babi. Yang aman, pilih yang cuma isi sayuran (selada+tomat+mayones), atau favorit saya isi sweet potato (ubi). Kalau buru2 bisa juga beli dari vending machine / alat jual otomatis, tapi pilihan terbatas. Oya, hampir semua mie instan cup disana mengandung minyak babi, jadi satu2nya yang aman cuma beli mie instan impor dari Indonesia yang berlogo halal. :D Jangan lupa sarapan akan lebih lengkap kalo ditambah minum susu & juice buah, jangan karena menghemat jadi cuma minum air keran. :p Makan siang bebas. Biasanya rumah makan jepang menyediakan display makanan didepan toko, lengkap dengan harganya. Jadi sebelum beli, bisa compare dulu ama toko sebelah-sebelahnya. Makan malam, nah ini dia seninya… tadi makan pagi cukup & bisa menggeser jam makan siang jadi agak sorean dikit, makan malemnya bisa tunggu makanan diskon di supermarket. Biasanya, diatas jam 7 malam dah mulai dikasih label 25-30%, nanti pas mo tutup sekitar jam 10 malam, semuanya 50-70%. Indahnya dunia! Oya, supermarket disini jualnya lauk-pauk di tray kertas gitu dalam kondisi setengah beku, nanti setelah bayar di kasir (bungkus sendiri pake kantong plastik / kantong kertas yang tersedia) trus bawa ke microwave. Panasin bentar, makan malam kita siap dibawa pulang ke penginepan untuk disantap. Eh lupa, tadi kan baru ngebahas lauk ya? Nasinya (kalo harus makan nasi) bisa beli juga di bagian nasi kepal, bisa dipanasin dulu tapi jangan lupa dibuka plastiknya (nebeng taruh di tray kertas teman nasi tadi). Kalo makanannya dalam porsi besar, sebagian bisa disimpan untuk sarapan besok pagi, hehehe… Nah, tentang minuman, harganya sih standar ya kalo di vending machine, tapi biasanya lebih murah dikit kalo beli di convenience store. Kadang2, minuman dingin dalam kulkas toko bisa lebih mahal. Jadi mendingan beli yang ga dingin, ntar kalo di penginepan ada kulkas, tinggal didinginin deh.
Terakhir, hemat biaya penginepan. Hotel mahal? Coba cari backpacker hostel, tinggal tanya oom Google. Mau gratis? Join hospitality network dong ah… salah satunya adalah
www.couchsurfing.org dimana kita bisa berkenalan dengan berbagai host di seluruh dunia. Penasaran? Silahkan sign up di website tersebut.
Kayaknya tulisan kali ini udah lumayan panjang, nanti saya coba ceritakan kalo ingat tips lain. Happy flashpacking!

Sunday, July 18, 2010

16 July - Ueno Zoo

Pernah punya boneka kesayangan waktu kecil? Sebagai anak perempuan, dulu saya cenderung tomboy dan tidak terlalu suka main boneka. Saya lebih suka naik pohon / atap rumah untuk memetik buah-buahan ataupun bermain kucing (baik peliharaan sendiri maupun kucing tetangga) yang bisa berinteraksi timbal balik. Suatu ketika Ibu membelikan saya sebuah boneka panda yang lucu dan menggemaskan. Tingginya sekitar 30cm, badannya gemuk dan empuk untuk dipeluk, berwarna hitam-putih khas panda. Si panda lucu kesayangan ini saya diberi nama: Ling-ling. Saya mulai berimajinasi untuk memelihara panda hidup yang memakan bamboo seperti di televisi. Belasan tahun kemudian saat di Jepang, saya mendapat informasi bahwa ada panda titipan dari China di kebun binatang Ueno. And guess what? Panda itu bernama Ling-ling. Ingatan masa kecil saya terhadap Ling-ling si boneka panda mendorong saya langsung browsing untuk mengunjungi Ling-ling si panda beneran. Dalam kereta, saya mengobrol dengan teman perjalanan dari Mexico.
“kapan terakhir kali kamu ke kebun binatang?”, tanyanya.
“Sejujurnya saya sudah lupa, tapi pastinya bukan dalam satu dekade terakhir”, jawab saya.
Melihat perubahan ekspresinya, saya menyambung: “Eits, jangan dulu berpikiran saya bukan penyayang binatang. Justru karena saya sayang binatang, saya tidak mau berkunjung ke kebun binatang.”
Teman saya penasaran, dan bertanya lagi: “kok bisa?”.
Terpaksa deh buka rahasia: “In Bandung, my friends told me that those animal are skinny and not so active because they aren’t well fed. I’m afraid visiting Bandung zoo will makes me sad, so I hold myself not to visit it.”.
Akhirnya dia manggut-manggut, entah mengerti atau mengasihani. :p Pandangan kami menerawang ke jendela kereta, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sampai di Ueno Station, kami berjalan menuju kebun binatang. Setelah sedikit mengantri dan membayar JPY 600 seorang, sampailah kami ke kebun binatang tertua di Jepang: Ueno Zoological Garden. Berdiri pada tahun 1882, saat ini Ueno Zoo adalah rumah bagi ribuan binatang dari ratusan spesies. Tadinya saya menganggap semua kebun binatang sama: isinya binatang sedih dibalik jeruji. Tapi tampaknya para binatang disini lumayan sehat dan ceria. Dari pintu masuk kami mengikuti arah panah untuk berkeliling. Pertama kami mengelilingi East Garden. Isinya standarlah, burung merpati, burung hantu, elang, baboon, gorilla, singa dan macan. Saya suka sekali singa & macan, bagi saya mereka adalah kucing-kucing yang bertubuh besar, hehehe… Yang menarik di sayap timur ini adalah Nocturnal House, didalamnya kita bisa lihat kelelawar yang beraktifitas normal, karena ruangannya dibuat gelap seperti malam hari. Kami tidak diperbolehkan mengambil gambar disana, meskipun tanpa menggunakan lampu flash. Ada juga polar bear a.k.a beruang kutub, tampaknya dia kepanasan walaupun kolamnya sudah diberi bongkahan es balok. Kerjaannya cuma berendam dan leyeh-leyeh, sambil sebentar-sebentar menceburkan (atau lebih tepatnya menenggelamkan) diri ke dalam kolam. Yang lebih aneh adalah binatang setengah kuda & setengah zebra, entah apa namanya.

Harusnya untuk menyeberang ke West Garden kita bisa pakai monorail, tapi ngantri panjang. Lagian teman saya hobi jalan, jadi kami menyeberangi Aesop Bridge dengan berjalan kaki. Ada sesuatu yang mengejutkan saya disini, yaitu penguin. Ya, burung yang tak akan pernah bisa terbang ini lucu sekali, meskipun tak sebesar yang saya bayangkan. Tingginya hanya sekitar satu meter, berada di pinggir kolam berisi balok-balok es seperti yang ad adi kolam polar bear tadi. Anehnya, segerombolan penguin ini selalu melihat ke arah yang sama. Saat saya datang, mereka menengok ke kiri dan secara serempak kawan-kawannya mengikuti. Sementara saat salah satu menengok kekanan, tiba-tiba semua jadi menengok kekanan juga, dan bertahan seperti itu sampai saya melewati kandang mereka. Aneh. Mungkin itulah kenapa para penguin di kartun Penguin of Madagascar sok sok belagak seperti tentara. :p Teman saya senang menemukan burung flamingo [Family: Phoenicopteridae]. Burung ini berleher panjang, berparuh bengkok, dan suka mengangkat sebelah kakinya yang berselaput itu seperti penari balet. Ah, saya tak terlalu tertarik dengan spesies burung, tapi memang warnanya lucu juga sih. Lagian, baru kali ini saya lihat ada burung besar berwana pink – orange. Ajaib juga. :D Udara musim panas bulan Juli ini membuat kami lelah dan berkeringat. Setelah tersasar dan bertanya ke beberapa petugas, kami memutuskan untuk beristirahat sambil makan siang.

Setelah cukup pulih, kami melanjutkan pencarian Ling-ling. Sesampainya di kandang panda, betapa terkejutnya saya karena Ling-ling ternyata adalah panda dewasa berukuran sangat besar. Iya sih, saya tau panda itu beruang, what do you expect? Tapi masih rada shock karena saya pikir Ling-ling itu anak panda mungil seperti boneka saya dulu. Sama sih warnanya putih item seperti harapan saya, tapi… aduh… kekecewaan saya udah nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. The worst thing is, tampaknya Ling-ling kurang bersahabat hari ini, kerjanya hanya tidur-tiduran saja. Dari balik dinding kaca saya hanya berharap dia membalikkan badan untuk saya yang jauh-jauh datang menengoknya. Hikz… Akhirnya teman saya mengajak saya membeli souvenir di salah satu took dalam kebun binatang. Saya tidak membeli boneka panda dan malah membeli baby cheetah untuk teman koleksi boneka macan saya. Masih penasaran, saya kembali lagi ke kandang panda, dan Ling-ling masih tidur membelakangi saya. Hari semakin sore, dan saya sudah capek, jadi… bye-bye Ling-ling. :’(

Note:

Ling-ling adalah panda terakhir di Ueno Zoo, dia mati tahun 2008. :'(
Saya beberapa kali kembali ke Jepang, tapi nggak sempat nengokin dia lagi. Sedih deh...

15 July - Sakana

Ikan dalam bahasa jepang disebut sakana [], tapi sakana juga punya arti lain yaitu makanan teman minum alkohol. Kalau mereka minum bir biasanya yang jadi sakana adalah edamame alias kacang kedelai rebus, sementara kalau minum sake biasanya ditemani telur ikan. Iya, telur ikan kayak yang di sushi itu. Yang paling umum kita temui namanya ikura (telur ikan salmon, warnanya oranye kemerahan dan butirannya besar-besar) dan sujiko (telur ikan terbang, warnanya hampir sama seperti ikura tapi ukurannya lebih kecil). Snack yang biasa jadi sakana adalah kacang, cumi kering, keju, dan rumput laut. Teman-teman dekat mengenalku sebagai carnivora a.k.a meat lover. Dulu, kalau mau diurutkan jenis daging yang kusuka, mulai dari daging kambing, daging sapi, daging ayam, dan daging seafood termasuk ikan di urutan terakhir. Orang Jepang nggak makan daging kambing, sementara saya takut salah makan sapi / ayam karena ga bisa bedain ama daging babi. Apa daya, selama di Jepang mendadak saya jadi pemakan sakana (yang ikan beneran) layaknya kucing. Semua berawal dari sarapan. Jam kerjaku dimulai pukul 8:30, jadi saya harus berangkat maksimal jam 7:30 supaya tidak terlambat. Ditempatku tinggal, sarapan disediakan mulai jam 7 sampai dengan jam 9 pagi. Artinya, waktuku hanya 30 menit untuk menyambar apapun yang sudah matang di deretan buffet pagi itu. Sebenarnya sajian makan pagi cukup variatif, mulai dari standar sarapan khas barat seperti roti, kentang goreng, scrambled egg, mashed potato, ham/sosis, telur ceplok, sampai ke roti prata lengkap dengan kuah kari khas India. Sayangnya, biasanya makanan tersebut baru akan muncul mendekati jam berangkatku. Alhasil, hampir setiap pagi sarapanku adalah salad, segelas susu, secangkir teh, dan ikan. Yup, entah kenapa selalu ikan yang matang duluan setiap hari. Ikan mentah, ikan asap, ikan goreng, ikan bakar, you name it. Awalnya saya hanya bisa makan ikan goreng (plus sambal dan kecap abc tentunya). Biasanya ikan goreng berasa sedikit asin, entah karena ikannya memang sudah diasinkan sebelum digoreng, atau memang dikasih bumbu waktu dimasak. Kehabisan ikan goreng, kucoba ikan bakar. Hmm... kalau yang ini saya nggak seberapa doyan, secara jenis ikan yang dimasak biasanya ikan besar yang di fillet, dan bener-bener hanya dibakar tanpa bumbu. Rasanya plain banget, sampai kecap dan sambal andalanku pun tak membantu. Kurasa orang akan kreatif kalau kepepet, dan itulah yang kulakukan. Mulailah saya makan ikan bakar colek mayones / thousand island / saus apapun yang tersaji bersama salad. Lumayan akhirnya ikanku berasa juga. :D Bosan dengan ikan tak berasa dengan saus antah berantah, kuberanikan diri makan ikan asap. Pertama sih berasa aneh aja di lidah, tapi lama-lama asyik juga. Hari-hari berikutnya saya lebih memilih ikan asap dibandingkan goreng dan bakar, sampai suatu ketika pilihannya hanya ikan bakar dan ikan mentah. Oops... pilihan yang sulit. Kucoba ambil keduanya di piring, dan wow! Ternyata rasa ikan mentah tak semengerikan yang kupikir sebelumnya. Apalagi kalau yang disajikan adalah ikan salmon, pasti kupenuhi piringku dengan daging berwarna oranye itu. So, resmilah diriku jadi neko (kucing) si pemakan sakana.

Saturday, July 17, 2010

14 July - Gohan

Son Gohan adalah anak pertama Son Goku di manga Dragon Ball. :D Tapi bukan itu yang mau kuceritakan disini. Gohan [ご飯] dalam bahasa Jepang punya arti harfiah sebagai 'nasi'. Menurut wikipedia, etimologinya awalan (go-) + 飯 (nasi). Nah, kalau kita bilang gohan di bahasa sehari-hari, gohan bisa diartikan sebagai 'makan'. Misalnya asagohan (bisa juga disebut asa-meshi) = sarapan / makan pagi, hiru gohan (kadang ditambah o jadi o-hiru-gohan, bisa juga hiru-meshi tapi ga umum, atau singkatnya o-hiru aja juga orang ngerti) = makan siang, dan yuu gohan (sering disingkat jadi yuuhan, bisa juga ban-gohan / yumeshi / banmeshi) = evening meal / supper alias makan malam.
Tadinya kupikir makanan tak akan jadi soal karena baik di Indonesia maupun di Jepang sama-sama makan nasi. Tapi ternyata, nasinya aja beda lho...
rasanya lebih pulen, butirannya lebih kecil (short grain), dan melekat / lengket satu sama lain, mirip ketan. Itu baru nasinya, nah sekarang lauk-pauk. Jangan harap bisa dapat rasa makanan macam hokben, karena it's totally different! Berbagai resto Jepang yang ada di Indonesia, rasanya sudah disesuaikan dengan lidah lokal yang suka dimanjakan dengan manis-asin-asem-gurih yang ga akan kita dapat di negara asalnya. Orang Jepang cukup sadar kesehatan, jadi rata-rata makanannya hambar alias kurang bumbu di lidah jawa-ku ini. Dari menunya, kita sudah cukup familiar dengan teriyaki, katsu, dan tempura versi hokben. Pas dicoba, teriyaki yang biasanya manis-legit mendadak jadi cuma berasa kecap yang sedikit asin, dan katsu / tempura berasa gorengan hambar. Ampun dah! Gelagapan cari kecap buat nambah rasa, kecewa berat karena disana cuma ada shoyu alias kecap asin, karena mereka ga kenal kecap manis kayak di warteg. Ga doyan kecap asin, target diarahkan ke shichimi. Katanya sih, sichimi ini campuran tujuh macam bumbu berupa bubuk cabe pedas dalam botol mungil, terdiri dari cabe merah giling, sansho (lada sichuan), kulit jeruk panggang, wijen hitam, wijen putih, hemp, jahe, dan nori (rumput laut). Kupikir, lumayanlah pedes daripada ga berasa. Yang ada juga kecewa pangkat dua, karena serbuk sichimi ini tak berasa menggigit sama sekali. Menyerah, kubuka bekalku: sambal abc & kecap manis abc sachet. Feels like home!

Monday, July 12, 2010

13 July – Hasedera

Kukibas-kibaskan kipas kertas bergambar bunga itu sambil berjalan, panas sekali. Tujuan selanjutnya, Hasedera. Ya, cocok sekali namanya: kuil taman bunga. Memasuki teras Hasedera, saya disambut oleh gemericik air dari kolam. Benar-benar khas taman Jepang, mungkin taman yang kulihat di majalah desain mencontek layout taman ini. Hehehe… sok teu banget ya? :p Ada beberapa kelompok tanaman bunga iris di gundukan tanah berlapis rumput, kolam berisi ikan, jembatan kecil diatas kolam, stepping stone hitam dikelilingi kerikil putih, keren sekali! saya langsung berpikiran, kalau ibuku lihat, dijamin langsung panggil tukang untuk bikin duplikatnya dibelakang rumah. :D Bedanya dengan taman Jepang yang pernah kulihat di majalah, yang ini lumayan guedhe. Batang bambu tempat air mengalirpun lumayan panjang, airnya dibiarkan mengucur keatas batu-batu kali hiasan kolam, sehingga suara percikannya terdengar nyaring. Sejenak saya terdiam disana, menikmati suasana yang nyaman. Kubuka botol minuman yang tadi kubeli di stasiun Tokyo, sudah nggak dingin tentunya, tapi kuharap masih cukup menyegarkan. Kuteguk cepat2 sambil celingak-celinguk takut kelihatan orang, soalnya disini nggak umum untuk makan / minum / merokok di tempat terbuka. Kulanjutkan perjalananku menjelajahi Hasedera. Kuil utama di Hasedera tak terlalu menarik. Memang sih, ada patung Budha berlapis emas, tapi nggak boleh difoto, huh... tapi lumayan, dapat juga foto satu patung bertangan banyak. Omong-omong tentang patung, kalau diperhatikan, ada berbagai macam patung disini. Ada patung Budha yang berupa lelaki gemuk berambut keriting seperti Daibutsu tadi, ada juga yang langsing tinggi berparas menyerupai wanita macam Dewi Kwan Im di kuil China dengan tambahan halo (lingkaran sinar) dibelakang kepalanya. Kesamaan keduanya adalah membawa semacam tasbih bulat-bulat ditangannya. Biasanya saya biasa-biasa saja kalo melihat patung, mungkin karena tak pernah menonton film serem yang hantunya keluar dari patung. Tapi patung yang ini beda, ojizo-sama namanya. Hanya dengan melihat deretan patung ini, bulu kudukku meremang. Ojizo-sama atau singkatnya sering disebut Jizo, adalah patung yang dibentuk menyerupai bayi atau anak kecil. Patung ini ada yang berdiri sendiri, tapi umumnya dibuat berbaris banyak. Tak hanya ada di kuil atau di area pemakaman, Jizo juga sering ditemui di pinggir jalan. Di Hasedera, jizo setinggi lutut orang dewasa berjajar rapi, beberapa diantaranya dipakaikan topi / syal dan mantel bayi, disekelilingnya dinyalakan beberapa batang lilin meskipun masih siang, seram sekali. Konon, ojizo-sama adalah pelindung bayi dan anak-anak di dunia bawah. Biasanya disekitar Jizo ditaruh bebatuan dan kerikil, dengan harapan itu akan mengurangi penderitaan anak-anak tersebut di dunianya, kebiasaan ini dikaitkan dengan pembangunan stupa untuk melindungi patung. Kadang oleh para orangtua pengunjung Jizo, patung tersebut dibawakan mainan atau celemek makan bayi yang sudah meninggal, supaya Jizo melindungi arwah anak mereka. Terkadang ada juga orangtua yang memberikan ‘sesaji’ berupa mainan dan pakaian untuk Jizo, supaya anak mereka sembuh dari penyakit yang sudah parah. Disini, jizo tak hanya sebaris dua baris, mungkin ada puluhan bahkan ratusan. Entahlah, saya nggak merasa perlu menghitungnya, yang pasti ini deretan Jizo terbanyak yang pernah kulihat. Tak mau berlama-lama didekat Jizo, kulanjutkan langkahku melewati Bentenkutsu, suatu gua kecil dengan lilin menyala untuk menghormati Benten (bukan Ben10 tokoh komik lho, Benten ini salah satu dewa). saya bergidik, ah, sebelas-duabelas nih sama seremnya. Hiy… cepat-cepat saya berlalu ke belakang kuil utama, melewati jalan setapak yang dinamai Hydrangea Path. Kalo jaman kecil saya pernah belajar menyanyi lagu bukit berbunga tanpa tau artinya, nah, disini saya merasa menemukan bukit berbunga yang sebenarnya. Lagi, teringat Ibuku dan bunga-bunga di halaman rumah. Thank God it’s July! Bukit Hasedera diselimuti Hydrangea berbagai warna. Putih, Ungu, Kuning, Pink, you name it! Cukup melelahkan memang mendaki bukit ini, tapi setibanya di puncak, kita bisa melihat Samudera Pasifik dari balik pepohonan. Sebenernya view yang dominan jadi atap-atap rumah yang berada dilembah dibawah kita, tapi lautnya masih tetap kelihatan kok. Di tempat ini, lagi-lagi bertemu patung Budha… kali ini berwajah pria, kepalanya gundul dengan halo dibelakangnya, posisi berdiri memegang tongkat yang sedikit lebih tinggi dari badannya. Puas dengan perjalananku, kali ini saya bisa tertidur di kereta dan bangun tepat sebelum stasiun tujuanku. Oya, mungkin saya belum bilang kalau Kamakura ini sekitar 1 jam perjalanan dari Tokyo. Bisa pakai JR langsung dari Tokyo, atau kalo lewat Ofuna katanya sih bisa pakai monorail ke Enoshima. Belum pernah coba yang lewat Enoshima, tapi katanya seru karena jalannya sempit & kalau kita duduk di gerbong depan bisa sport jantung lihat daerah hunian yang mepet sama rel kereta.

Sunday, July 11, 2010

12 July – Kamakura

Sudah cukup puas dengan ‘daleman’ Daibutsu, kuputuskan untuk keluar. Terik matahari menyambut ubun-ubunku begitu kepalaku muncul di permukaan tanah, nampaknya sudah hamper tengah hari. Sambil memakai topi, kulihat ada sepasang bule berbadan besar ragu-ragu untuk masuk. Kulirik lubang tempatku masuk tadi, hmm… iya juga siy, kecil. Seketika saya bersyukur, bahwa tubuhku yang sering kukeluhkan overweight, ternyata masih bisa keluar-masuk pintu Daibutsu dengan leluasa. Yokatta ne! Sebenarnya tadi ada yang menarik di perjalanan menuju Daibutsu. Sesampainya di stasiun Kita Kamakura, saya berjalan melewati suatu kuil besar. Sudah banyak kuil yang kukunjungi, tapi baru kali ini kulihat ada prosesi shinzen shiki (pernikahan tradisional Jepang). Meskipun otakku mengatakan tujuan utamaku kesini adalah patung Budha raksasa itu, entah kenapa kaki membawaku mendekat ke kuil itu. Didominasi warna merah dan keemasan, kuil yang mirip rumah panggung terbuka itu dihias beberapa gantungan kertas putih yang dipilin diseputar dindingnya. Tinggi lantainya diatas kepalaku, tapi masih bisa terlihat prosesi yang sedang berjalan. Nggak seperti umumnya pengantin wanita di drama Jepang yang pakai kimono putih (shiromuku), disini dia pakai kimono hitam dengan obi (ikat pinggang kimono) berwarna merah, dengan hiasan rambut yang terlihat mirip antenna kamen rider. :D Kuputar lensa zoom di kameraku, ternyata si pengantin pria berkulit putih dan berambut coklat. Dia mengenakan montsuki (kimono formal hitam), haori (jaket kimono), and hakama (celana kimono). Hmm.. menarik. Penasaran, kuputari kuil yang berada ditengah lapangan itu untuk melihat lebih jelas apa yang sedang berlangsung. Disaat pengantin pria membaca sesuatu yang terdengar seperti mantra dari gulungan perkamen putih besar di tangannya, pengantin wanita berdiri diam disebelahnya. Sekumpulan orang tua berkimono duduk berhadapan di sisi kiri dan kanan pengantin. Kemungkinan mereka adalah keluarga dari pengantin wanita, karena tak tampak seorang kulit putih-pun disana. Beberapa turis mengabadikan momen ini dengan kamera mereka, yah… resiko nikahan di kuil yang jadi objek wisata, ditonton orang deh. Mungkin orang Jepang sendiri sudah jarang yang nikah di kuil, karena kebanyakan lebih suka nikah di gereja. Jangan salah, banyak dari mereka yang nikah di gereja itu non-Christian lho… Biasanya mereka memilih gereja karena lebih simple, tidak perlu mengikuti upacara-upacara tradisional yang menyita waktu dan tenaga. Satu alasan lagi yang pernah kudengar dari temanku, ini kesempatan sekali seumur hidup untuk memakai gaun pengantin putih seperti Cinderella. Ah, rupanya mereka sudah bosan pakai kimono. Semoga orang-orang Indonesia setia memakai kebaya atau baju daerah lain di hari pernikahan mereka, karena menurutku itu tak tergantikan oleh gaun putih gaya barat sekeren apapun. Sayang saya tak punya cukup waktu untuk berlama-lama melihat upacara tradisional itu. Kuil demi kuil kulewati sampai akhirnya kucapai Daibutsu yang kuceritakan tadi. Topi yang kupakai rupanya tak cukup kuat untuk menahan panasnya matahari. Tentu saja, hampir tak ada tempat berteduh disekitar patung ini. Disini cuma ada beberapa penjual souvenir dengan atap yang hanya melindungi dagangannya. Kulihat sekilas, ada gantungan kunci, kartu pos bergambar, pembatas buku, juga pajangan meja, semua berbentuk / bergambar patung Budha raksasa bertuliskan Kamakura. Standar. Kuputuskan untuk melanjutkan langkahku ke garden temple Hasedera.

11 July - Daibutsu

hosh.. hosh... saya berlari-lari menaiki tangga berjalan, sambil merutuki kenapa lift punya jam mulai beroperasi lebih lambat daripada keretaku. kupercepat langkahku menuju lantai berikutnya, dan kereta itu berjalan tepat pada saat kakiku menapak di anak tangga terakhir. ah! dengan malasnya saya berjalan ke mesin penjual otomatis terdekat, sambil merogoh kantongku mencari kepingan yen. kulihat papan informasi, masih enam menit lagi sebelum kedatangan kereta berikutnya. keping demi keping kumasukkan sampai lampu indikator minuman kesukaanku menyala, kutekan tombol dibawah display, dan 'tring...' sebotol minuman jatuh. kurogoh laci mesin tersebut untuk mengambilnya. saat berbalik dari mesin tersebut baru kusadari, tidak ada tempat duduk untuk penunggu kereta sepertiku disini. hmm... kenyataan itu membuatku semakin malas. beberapa orang mulai mengantri dibelakang garis kuning dipinggir rel kereta. kupaksakan langkahku untuk bergabung bersama mereka. kutengok kanan-kiri, tak ada tanda2 oshiya disekitar rel. ah, tentu saja... ini kan hari minggu. tukang dorong pantat itu hanya beroperasi di hari kerja yang padat, dimana kereta penuh sesak dipenuhi para pekerja sepertiku. setidaknya ada satu hal yang bisa disyukuri hari ini. tak lama kemudian, keretaku datang. kulihat penumpang disekitarku, standar! hanya ada 3 kegiatan yang biasa dilakukan orang Jepang di kereta: pertama, tidur. kedua, baca buku. ketiga, pasang iPod di kuping, dan menunduk sampai stasiun tujuan disebutkan. tadinya saya ingin meniru mereka, tapi agak sulit. kegiatan pertama sudah pernah kucoba, tapi yang ada saya selalu terbangun panik di setiap stasiun yang namanya terdengar mirip dengan stasiun tujuanku. kegiatan kedua pun sudah pernah kucoba, tapi akhirnya saya malu hati membaca buku bertuliskan romaji (huruf abjad), ketahuan tak bisa baca huruf kanji. nah, kalo kegiatan terakhir, akhirnya kutinggalkan untuk alasan yang lebih tak masuk akal: tiap beberapa menit, saya harus mencopot earphone supaya bisa mendengarkan nama stasiun perhentian berikutnya. ingin rasanya saya untuk mengobrol dengan teman seperjalanan, atau sekedar bermain handphone untuk chatting, seperti yang biasa kulakukan didalam angkutan kota. sayangnya Tokyo bukanlah Bandung, jadi terpaksa kupasang earphone di telingaku tanpa menyalakan musik apapun sambil memandangi kedua ujung sepatuku. rupanya Kamakura adalah kota yang penuh dengan kuil. entah sudah berapa kuil yang kulewati, tapi tujuan utamaku hanya satu, Daibutsu. ya, patung Budha raksasa itulah yang membuatku penasaran. biasanya patung Budha berada dalam altar suatu kuil, tapi kalau yang tersisa hanya patung tersebut, saya masih tak bisa membayangkan seberapa besar kuil aslinya. di perempatan jalan ada seseorang yang membagikan kipas gratis, khas musim panas. kalo bukan kipas plastik, kipas kertas, atau sebungkus tissue, semuanya bergambar warna-warni meriah dengan berbagai iklan produk. biasanya tidak satu karakterpun yang bisa kubaca, jadi iklan di kipas maupun tissue biasanya tidak mempengaruhiku. kecuali kali ini... ada sebatang kipas bergambar warna-warni bunga dengan tulisan romaji: Hasedera. tidak, kalau kamu pikir saya suka bunga, itu salah besar. hanya satu yang kupikir, kalau saya bisa berfoto dengan background bunga aneka warna itu, ibuku pasti akan senang. hmm... kurasa daibutsu bisa menunggu. Daibutsu, akhirnya... meskipun sudah kubaca berulang kali bahwa tingginya 13.5 meter, saya masih terkagum-kagum dengan ukurannya. katanya sih, beratnya sekitar 93 ton. penasaran dengan 'isi' dari patung itu, saya hanya perlu membayar 20 yen untuk masuk kedalamnya. ternyata tidak terlalu menarik, dinding bagian dalam patung tembaga itu terlihat tua dan berbercak-bercak hijau. rupanya masuk kedalam patung bukanlah keputusan tepat, karena dalam sekejap ruang sempit itu penuh orang. saya nggak claustrophobia lho... cuma nggak suka berada di tempat yang sempit bersama banyak orang, eungap.