welcome to my blog
Friday, July 30, 2010
27 July - Toyota Commemorative Museum
Masuk ke museum ini melewati lobby yang lega, saya masuk ke Textile Machinery Pavillion. Disini saya merasa kembali ke jaman dulu, dimana ada satu lantai produksi seluas 3,486 meter persegi yang penuh mesin tenun. Blok pertama berisi patung yang memeragakan cara paling tradisional untuk memintal benang dan menenun kain, yaitu dengan gulungan benang yang diputar, disambungkan dengan mesin tenun beroda yang digerakkan dengan tangan dan kaki. Berikutnya pada Garabo Spinning Machine saya bisa melihat mesin pemintal benang berteknologi Jepang di era Meiji (1868 – 1912) bersebelahan dengan mesin tahun 1920an yang mengadopsi system kerja mesin pemintal benang impor dari Inggris. Ceritanya sih, gabungan teknologi barat dan timur dalam pemintalan benang, menghasilkan mesin pemintal benang dengan system terotomasi dan dikendalikan oleh computer. Saking otomatisnya, kalo ada benang yang putus ditengah proses pemintalan, bisa langsung nyambung sendiri lho! Keren… Udah gitu ditampilin deh, mesin tenun masa kini yang berteknologi tinggi, yang diilhami dari gerak mekanik Karakuri. Lewat dari bagian tekstil, saya masuk ke bagian metal processing. Disini cukup banyak display proses pengolahan metal seperti, yaitu forging / penempaan, casting / pengecoran, dan cutting / pemotongan. Sudah sering sih lihat mobil dibikin, tapi baru nyadar kalo proses ngebentuk panel-nya aja panjang bener. :p Dari sana saya lanjut ke Automobile Pavillion seluas 7,900 meter persegi berisi segala macam mobil dan pretelannya, dari mulai sejarah mobil, spare part, pengetesan mekanisme, mesin press raksasa, sampai ke teknologi robot untuk welding / assembling / painting. Tempat favorit buat saya dan teman-teman untuk berfoto narsis bersama mobil-mobil lucu yang jarang kelihatan di jalan. Hehehe… Nggak kerasa, keliling museum ini cape juga. So far, ini museum terbesar yang pernah saya puterin. Di akhir kunjungam, beberapa teman belanja di toko souvenir. Ada yang beli miniatur mobil antik, beli parfum mobil berbentuk mobil sport, beli kartu pos bergambar truk unik jaman dulu, sementara saya, as usual, ambil foto sebanyak batre & memori kamera saya mampu. :D
Thursday, July 29, 2010
26 July - Shuuji
Saya pernah belajar bikin shuuji. Shuuji yang ini (nggak pake Akira) adalah kaligrafi tulisan Jepang. Seperti kaligrafi tulisan Arab yang kita kenal, pada shuuji juga dikenal tebal-tipis coretan untuk menghasilkan efek penekanan yang diinginkan. Penulisan karakter kanji dalam pembuatan shuuji punya urutan tertentu dimana harus mulai dan berakhir, jadi belajarnya nggak bisa sebentar. Pembuatan shuuji tidak lepas dari beberapa pendukung, yaitu fude (kuas kaligrafi), sumi (tinta kaligrafi), suzuri (batu tinta?), washi (kertas Jepang), shitajiki (tatakan kertas), dan bunchin (pemberat kertas). Kebetulan kami belajar bikin shuuji di salah satu pabrik sumi di daerah Nara. Jangan bayangin pabrik gede ya, ini kayak home made industry yang sudah bertahan ratusan tahun. Yang diproduksi disini bukan tinta berbentuk cair seperti yang lazimnya kita kenal untuk stempel seaworld ataupun celup jari pas pemilu, hehehe… Sumi yang dibuat berbentuk ink stick, batang tinta sepanjang jari tangan, dengan ketebalan dua jari. Seperti umumnya tinta, bahan dasar sumi adalah arang kayu yang dicampur dengan perekat hewani seperti putih telur atau kulit ikan, dan bahan-bahan lain yang saya nggak hafal. Cara membuatnya: bahan-bahan tersebut dicampur dalam proporsi tertentu sampai membentuk suatu adonan yang dipotong-potong kemudian di press dan dicetak dalam suatu molding kotak besar bersekat seukuran ink stick yang diinginkan. Ink stick yang dihasilkan ini masih lembek, sehingga harus dikeringkan dulu secara perlahan. Kesalahan dalam proses pembuatan bisa berakibat tinta retak saat dikeringkan. Setelah melihat proses pembuatan tinta, saya dipersilahkan masuk ke dalam ruangan lain untuk mulai belajar menulis nama untuk dibuat shuuji. Berhubung saya bukan orang Jepang / China, tidak ada karakter Kanji yang bisa digunakan untuk menulis nama saya. Tidak juga dengan Hiragana, karena karakter tersebut biasa dipakai untuk kata-kata yang kanjinya sudah tidak digunakan ataupun tidak diketahui. Alhasil, alih-alih pake Kanji ataupun Hiragana, nama saya dikonversikan mentah-mentah per suku kata pakai karakter Katakana. Ya, memang katakana biasanya digunakan untuk menulis kata-kata dari bahasa asing yang akan diserap dalam Bahasa Jepang. Sukses mencorat-coret kertas bekas dengan bolpen untuk belajar menulis katakana, saya siap untuk mulai menulis pakai fude. Pertama harus dipastikan kertas (biasa, belum pakai washi beneran) yang kita pakai berada diatas shitajiki, supaya nanti tintanya nggak nembus ke meja. Bunchin diletakkan diatas kertas supaya nggak geser-geser waktu ditulisin. Sumi dibasahi sedikit ujung bawahnya, diposisikan vertical terhadap suzuri, dan digosokkan memutar seperti sedang mengaduk adonan kue. Cairan tinta mulai menyebar dari ujung yang dibasahi. Semakin lama proses tersebut, semakin tinggi tingkat kepekatan tinta yang dihasilkan. Begitu dapat level yang diharapkan, saya ambil fude, trus dicelupin ke tinta diatas suzuri. Goresan pertama, cuma garis dari atas kebawah sih, maunya tebal diatas – tipis dibawah seperti yang diajarin, tapi hasilnya cuma garis tak beraturan, luruspun tidak, dengan ketebalan yang nyaris sama. Kegagalan attempt one membuat penasaran. Coba lagi… lagi… dan lagi… sampai akhirnya kertas pertama penuh coretan garis vertical yang nggak jelas. Kertas kedua, mulai mencoba menulis namaku dalam katakana, diulang sampai kertas penuh, masih belum OK. Berhubung lirik kanan-kiri udah pada mulai nulis di washi, saya beranikan diri corat-coret langsung di kertas bagus itu. Voila! Jadilah shuuji pertamaku. :D setelah selesai bikin shuuji, kami diberi sumi yang masih lunak untuk dikepal beberapa saat sampai tercetak lekuk-lekuk jari, dan diberikan sebagai souvenir. Sumi tersebut dibungkus kertas seperti tissue dan dikemas dalam kotak kayu eksklusif. Kami juga diberi kenang-kenangan sebatang sumi lain dalam kotak, yang katanya sudah berumur cukup tua. Oya, sumi itu seperti wine, semakin tua umurnya, semakin mahal harganya. Hmm… kalo gitu kita lihat seberapa mahal tinta saya bisa dijual nanti, hehehe… nggak ding. Saya mau simpan aja buat kenang-kenangan.
Wednesday, July 28, 2010
25 July – Akihabara
Ada beberapa Duty Free shop favorit teman saya, yaitu Laox, Akky, dan Onoden. Ketiganya berada di satu jalan utama, Chuo Avenue, yang membelah Akihabara dari utara ke selatan. Kalo hari Minggu, jalan besar itu ditutup lho, kayak Jalan Dago pas car free day. Jadi aja kita bisa berdiri di tengah jalan tanpa takut ketabrak mobil. :p Beberapa toko memiliki pramuniaga yang bisa berbahasa asing, dengan harapan terjadi komunikasi yang lebih baik dengan calon pembeli. Saya pernah disapa seorang pramuniaga ketika sedang melihat-lihat, ditanya dari mana asal saya. Waktu saya bilang Indonesia, dengan cepat dia memanggilkan pramuniaga yang berasal dari Indonesia. Berhubung saya cuma window shopping, saya bilang ama si Mas-mas itu supaya nggak usah nemenin. Eh, dia ngikutin kemana saya pergi. Kesel, saya keluar dari toko itu trus masuk ke toko sebelah yang ga ada pramuniaga 'impor'-nya. Saya memang jahat. :p
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh teman saya: apakah beli elektronik di Akihabara bener-bener murah? Hmm... kalo kata saya sih enggak juga ya. Sebelum pergi biasanya saya ingetin temen yang dititipin usahakan beliin barang yang ada garansi international & ada manual book bahasa Inggris. Kadang saya juga bantu teman yang mo nitip untuk browsing dulu spec alat elektronik pesanan di toko online lokal. Konversikan harganya ke currency yen saat ini, nah segitulah patokan harga tertingginya. Kan kita cari barang yang lebih murah, bukannya lebih mahal. Browsing juga barang dengan spec yang dekat dengan pesanan, karena ga semua model available di semua negara. Terbukti, pas hunting disana, biasanya barang (baru) yang diincar harganya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Kalaupun lebih murah, pasti buku manualnya Bahasa Jepang & nggak garansi international. Nanti kalo suatu saat rusak, meskipun masih dalam masa garansi, bakal repot nge-claim-nya. So, cintailah Indonesia, beli di deket rumah aja. :D
Tuesday, July 27, 2010
24 July - Hello Kitty
Monday, July 26, 2010
23 July – Kabuki
Saya merasa beruntung pernah menonton performance kabuki langsung di Kabuki-za Theatre. Lokasinya di Higashi Ginza, bagian dari daerah pertokoan Ginza yang terkenal sebagai Avenue des Champs-Élysées -nya Tokyo. Bagian depan bangunan Kabuki-za lumayan lebar dibandingkan bangunan lain disekitarnya, jadi nggak susah deh nyarinya. Dari luar bangunannya tampak oldies tapi masih tetap megah dengan beberapa lantern & spanduk didepannya. Waktu itu saya dan beberapa teman membeli tiket pertunjukan matinee (namanya matinee a.k.a afternoon performance tapi mainnya jam 11 pagi :p). Kami mendapatkan sepotong tiket, satu pamflet tentang pertunjukan yang sedang berlangsung, & satu set transceiver (kombinasi radio transmitter & receiver alias HT) beserta earphone. Iseng kuputar-putar, ternyata ada beberapa channel, tapi cuma dua yang kutangkap yaitu Bahasa Inggris & Bahasa Jepang. Begitu masuk ke ruangan, kami menempati tempat duduk yang tidak bernomor. Wah, berarti dulu-duluan pilih tempat duduk dong, pikir kita. Karena kebiasaan nonton bioskop di Bandung, saya pilih di tengah deretan paling belakang. Oya, deretan tempat duduknya bertingkat mirip seperti di bioskop, tapi lebih curam. Bentuknya barisannya seperti huruf U, dengan balkon di deretan kanan dan kiri. Saya mengedarkan pandangan, jumlah tempat duduknya banyak sekali, sepertinya lebih banyak daripada yang ada di Cineplex 21. Pertunjukan sudah hampir mulai, tapi masih ada beberapa bangku kosong. Pikiran saya melayang ke pertunjukan wayang orang yang pernah saya tonton di Surakarta – Jawa Tengah, kondisinya sangat menyedihkan. Kursi kayu yang sudah sedikit reot dibuat berjajar menghadap panggung, dalam satu ruangan Gedung Sriwedari yang remang-remang itu jumlah penonton masih bisa dihitung dengan jari tangan. Pemain wayangnya sudah nggak bisa lagi menyembunyikan wajah keriput mereka dibalik make-up tebal, mereka juga rata-rata kurus sekali. Setelah pertunjukan wayang orang selesai, baru saya sadari bahwa diantara penonton yang bukan bule cuma saya dan keluarga pakdhe saya (suami-istri+2 anak). Kembali ke Kabuki-za, saya coba-coba mengabadikan panggung sepanjang 30meter-an yang layarnya masih tertutup, salah pencet, jadinya malah video pendek. Salah satu teman mengingatkan bahwa tidak boleh mengambil gambar dalam ruangan teater ini. Jadilah saya urung berfoto-foto dan hanya membaca pamflet yang tadi dibagikan sambil menunggu layar terbuka.
Layar terbuka diiringi suara tok-tok-tok dari salah satu instrument musik. Oya lupa bilang, para pemain musik itu ada di sisi kiri saya, di depan panggung. Tampak di panggung ada semacam rumah tanpa dinding, didalamnya ada seorang pria berpakaian kuno dengan gaya rambut botak didepan & rambut diikat dibelakang. Dia bersuara melengking, entah berbicara atau menyanyi, yang jelas saya nggak lihat ada microphone, sementara suaranya terdengar lantang setidaknya sampai deretan saya. Dari sekian banyak kalimat yang diucapkan, nggak ada satu kata pun yang bisa saya tangkap. Saya iseng memutar channel ke Bahasa Jepang, tapi yang diomongin beda ama yang di panggung. Sama-sama nggak ngertinya, saya pasrah kembali lagi ke channel audio Bahasa Inggris. Terjemahannya nggak kalimat per kalimat, tapi jadi kayak sinopsis cerita yang sedang dipentaskan. Ah, ga seru! Pengen tau kan, dia lagi ngomong apa. Nggak berapa lama ada sosok perempuan, wajahnya tak terlihat, mereka berkomunikasi dengan nada seperti menyanyi. Kemudian ada seorang pria berpakaian tampak mewah, membunyikan bel di pagar & orang yang tadi didalam rumah keluar untuk membuka pagar, trus mereka ngomong-ngomong lagi. Tanpa menutup layar, adegan berganti di sisi panggung yang lain yang setting-nya seperti jembatan diatas sungai dalam hutan. Kali ini ada sepasang laki-laki & perempuan, mereka menghadap ke arah penonton. Asyik, ini yang saya tunggu-tunggu. Saya berusaha memperhatikan si ‘wanita’, yang pastinya diperankan oleh pria. Gerak-geriknya betul-betul gemulai, seperti wanita beneran. Dia pakai kimono wanita, pakai geta (sandal jepang yang kayak bakiak), bersanggul khas Jepang dengan tusuk konde yang pake gantungan berkilauan, bawa tas kecil & kipas. Mukanya benar-benar lukisan, aslinya udah sama sekali nggak kelihatan. Garis mukanya cuma terlihat alis yang dibentuk melengkung, bibir yang merah menyala, serta pipi seputih kertas yang diberi blush on warna pink. Saya jadi nyesel duduk jauh dari panggung, soalnya ga bisa merhatiin dengan jelas. Meskipun saya nggak bisa nangkep percakapannya sama sekali dan nggak terlalu jelas lihat raut muka, hanya dengan melihat gerak gerik mereka dan intonasi suara, saya bisa menangkap mereka sedang marah, sedih, senang, ataupun kecewa. Hebat sekali ya teater itu.
Intinya yang saya tonton waktu itu berjudul Shuzenji Monogatari yang menceritakan tentang seorang mask-carver (pembuat topeng) yang ditugasi oleh seorang shogun untuk membuat topeng mukanya. Si pembuat topeng yang bernama Yashao itu punya dua orang anak perempuan, namanya Katsura dan Kaede. Katsura nggak puas hidup di desa dan pengen merubah nasib untuk jadi orang terhormat, sementara Kaede cukup puas jadi istri Hirohiko, seorang pengikut Yashao. Shogun Yoriie datang menagih topeng mukanya, tapi Yashao meminta maaf karena pesanannya nggak jadi-jadi karena dia sedang kurang fokus. Setiap coba bikin dan gagal, topengnya dihancurkan lagi. Katsura bawa topeng terakhir yang dibuat ayahnya, Yoriie bilang ini udah bagus & meskipun Yashao protes, Katsura tetep kasih topengnya ke Yoriie. Singkat cerita, Yoriie suka ama Katsura trus minta ijin ama Yashao untuk menikahi Katsura. Waktu mereka pergi, Yashao ngancurin semua topeng yang udah dia bikin karena menurutnya membiarkan satu topeng gagal lolos keluar adalah kegagalannya sebagai seniman. Ternyata Yoriie itu Shogun-nya cuma nama doang, sementara kekuasaan masih dibawah kendali Masako (ibunya) dan Regent Yoshitoki. Kanakubo dari Kamakura datang untuk membunuh Yoriie, jadi Yoriie & Katsura berusaha melarikan diri dibantu oleh Hirohiko. Waktu Hirohiko datang, Kaede & Yashao lega, tapi mereka masih mengkhawatirkan Katsura. Ketika ada seorang prajurit terluka yang roboh didepan gerbang rumah mereka, mereka menemukan bahwa prajurit itu adalah Katsura yang menyamar dengan mengenakan topeng Yoriie. Ya, mungkin saya nggak pinter nyeritainnya lagi, tapi gitu lah pokoknya. Hehe.. *ketawa garing
BTW, saya menulis tentang Kabuki karena seorang teman memberitahu saya, saat ini Kabuki-za Theatre sudah ditutup untuk direkonstruksi, dan rencananya baru akan dibuka lagi 3 tahun lagi yaitu tahun 2013. Alasan dilakukannya rekonstruksi tersebut adalah kerentanan bangunan tua tersebut terhadap gempa bumi yang sering terjadi di Jepang. Hmm... lama juga ya. Katanya sih ntar tampak depan bakal dibangun menyerupai kondisi sebelum dipugar, tapi gedungnya akan jadi 43 tingkat. Hohoho…
22 July – Saru
Nah, bolpen ini mengingatkan saya suatu waktu, dimana saya baru sampai pelataran Tokyo Tower. Saat itu ada semacam topeng monyet disana. Monyet dalam bahasa Jepang disebut ‘Saru’. Saya suka nggak tega kalo liat topeng monyet, tapi saya penasaran pengen tau, apakah ada scene ‘Sarimin pergi ke pasar’? :p Ternyata pertunjukan ini lebih ke akrobatik. Ada dua balok dengan beberapa anak tangga diletakkan berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Si Saru naik tangga dari salah satu balok, meloncat ke balok seberang, kemudian turun dari balok tersebut. Jarak antar balok sedikit direnggangkan, si Saru masih tetap bisa loncat. Begitu terus sampai jarak antar balok direnggangkan dengan jarak yang tampaknya tidak mungkin dijangkau dalam sekali lompatan. Saru naik ke balok, mengangkat tangan kanannya horizontal diatas mata seperti sedang memandang jauh ke seberang, menatap pawangnya, dan mengangkat tangan tanda menyerah. Kurang lucu ya kalo saya yang cerita? Padahal waktu itu semua orang di pelataran Tokyo Tower, ngakak abis lho! Hmm… nantilah saya belajar bikin cerita yang lucu. Omong-omong belajar, Saru ini mengajariku sesuatu. Saat pawangnya bilang ‘hidari’, Saru mengangkat tangan kirinya. Sementara saat si pawang bilang ‘migi’, Saru mengangkat tangan kanannya. Dari Saru-lah saya belajar bahasa Jepang untuk kanan dan kiri, yaitu migi dan hidari. Ah, hari ini memang saya sedang garing. Nulis eh ngetik apaan siy dari tadi, ga jelas gini. XD
Friday, July 23, 2010
21 July - Lost in Japan
Suatu hari ada meeting di site lain after lunch, tentu saja saya dan teman-teman lain yang ikut meeting merasa senang karena ga perlu ngantor dari pagi. Disusunlah rencana, ada yang mau jalan-jalan cari elektronik ke Akihabara, ada yang mau cari alat pancing di daerah Ueno, dan saya sendiri punya agenda khusus: menambah koleksi topi HRC. Berhubung lokasi yang dituju sama-sama seputar Ueno, maka kami bersama-sama kesana. Di stasiun Ueno kami berpisah dan janjian untuk ketemu disuatu lokasi, dua jam kemudian. Lokasi HRC sangat mudah ditemukan, karena masih berada dalam stasiun Ueno. Sayangnya, pagi itu belum buka, karena rata-rata toko di Jepang buka pukul 10 pagi dan tutup jam 8 malam. Jadilah saya hanya memutari pertokoan sambil menunggu HRC buka, sementara teman-teman pergi entah kemana. Begitu toko buka, saya langsung membeli beberapa merchandise yang sudah diincar sebelumnya, lalu lari mengejar kereta menuju site. Ternyata site ini lokasinya nggak mudah dicapai, udah mah pake ganti kereta lokal di stasiun kecil yang ga ada petunjuk pake romaji (tulisan latin), nantinya kudu naik bus. Karena buru-buru, saya salah naik kereta. Sadarnya pas udah tiga stasiun, kok perasaan ga nemu nama stasiun yang seharusnya dilewati. Catatan: saya nggak bisa baca kanji, jadi saya foto timetable dari stasiun asal untuk tau stasiun mana aja yang seharusnya dilewati, kemudian dicocokkan kanjinya seperti mencari sepuluh perbedaan. Itu dilakukan dalam waktu singkat saat di stasiun pintu terbuka sekitar 1-2 menit sehingga saya bisa melihat gambar / tulisan kanji nama stasiun tempat kita berhenti. Di stasiun ketiga saya keluar dan mencari timetable. Bener aja, saya berada tiga stasiun dari tempat ganti kereta tadi, tapi di arah yang berlawanan. Berlari-larilah saya naik turun tangga ke platform seberang (nggak bisa asal nyebrang rel kayak di Bandung), supaya bisa dapat kereta ke arah yang benar. Waktu saya sudah banyak hilang, jadi menunggu kereta kali ini berasa lama banget. Sesampainya saya di stasiun tujuan, sudah lewat 15 menit dari jam yang disepakati. Tentu saja teman-teman saya sudah pergi duluan. Nggak mau ambil resiko naik bus salah lagi, saya langsung berjalan ke platform taxi untuk menuju ke site. Untungnya sopir taxi langsung mengerti tujuan yang saya jelaskan dengan bahasa gado-gado. Singkat kata sampailah saya ke site, bayar taxi, dan melesat ke pos satpam. Teman-teman masih menunggu disana, karena para satpam tidak mengerti mereka harus menghubungi siapa. Lagi-lagi masalah komunikasi. Kukeluarkan kartu nama orang yang akan kami temui, barulah para satpam mengangguk-angguk dan memutar extension si empunya nama. Di ruang meeting, bapak bos besar yang sudah duluan datang memasang muka sangar. Dia meminta semua site member untuk memberi waktu buat kami, kemudian menutup pintu. Yup, kami diomelin. Terlambat itu tampaknya setara dengan dosa besar. Yang biasa kita anggap ‘ngaret’ alias ‘telat dikit’ di Indonesia, disini sama sekali tidak bisa ditolerir. Kami hanya bisa menunduk dalam-dalam, seselesainya beliau berceramah, barulah kami meminta maaf.
Kadang-kadang, saya tersasar bukan semata-mata karena nggak tau jalan. Saya dan teman saya selalu berangkat dan pulang kantor dengan satu-satunya monorail lokal di jalur seaside line. Jarak penginapan dan stasiun tempat kita turun untuk nyambung jalan kaki ke kantor cuma 5 stop, jadi kadang di jam sibuk kami pilih berdiri soalnya kalo dah duduk pasti nanti susah turun karena kehalang orang yang berdiri. Karena kami pulang kantor sore hari, matahari lagi cantik-cantiknya menjelang sunset. Biasanya saya suka memandangi kapal-kapal yang lewat atau roller coaster di Sea Paradise, sementara teman saya memperhatikan pemancing yang tampaknya sangat mudah mendapat ikan. Begitu kereta datang, pandangan kami terhalang. Otomatis kami masuk ke kereta, sambil melanjutkan bengong memandangi kapal-kapal, roller coaster, dan pemancing tersebut. Satu stasiun kemudian, kami baru menyadari bahwa kereta ini menjauh dari pelabuhan. Kami salah kereta! Dengan tertawa-tawa kami turun di stasiun tersebut untuk menyeberangi platform dan menunggu kereta yang ke arah berlawanan. Segitunya tiap hari pake kereta yang sama, kok bisa-bisanya salah naik gara-gara bengong, ga saling ngingetin lagi. Parah! :p
Thursday, July 22, 2010
20 July - Nagoya
Enak sih udaranya, di musim panas aja saya masih berjaket kalo pagi & malam. Saking bosennya sama daerah pegunungan, saya mengajak teman yang orang Filipina untuk jalan-jalan ke pelabuhan Nagoya. Disini ada Nagoya Public Aquarium, akuarium besar berisi lumba-lumba, asyik… I always love seaworld. Sesampainya kami disana, ternyata untuk masuk seaworld tiketnya lumayan mahal. Gapapa deh, takut ga sempet lihat laut lagi selama di Jepang. Tentu saja tidak hanya lumba-lumba yang ada disana, tapi dari berbagai macam ikan dari lima benua sampai penguin pun ada. Lagi asyik-asyiknya memperhatikan sepasang lumba-lumba yang berkejaran dibalik dinding kaca seluas layar bioskop 21, tiba-tiba ada seorang bapak yang jatuh dan kejang-kejang. Para petugas seaworld bergerak cepat ada yang mengecek kondisi bapak itu, ada yang langsung mengambil kursi roda, ada juga yang saya dengar memanggil ambulans dari telepon genggamnya. Wah, sigap sekali orang-orang ini ya. Dalam waktu singkat, bapak itu sudah dibawa keluar. Mungkin dia ada phobia kali ya… apa itu istilahnya? Kalo hydrophobia kan takut air, nah kalo takut laut kan thallasophobia, atau mungkin phallainophobia alias takut ikan paus. Kasian juga. Saat kami makan di foodcourt seaworld, ternyata kami bertemu teman satu penginapan yang berasal dari Chile. Teman Filipin saya lupa namanya, tapi dengan semangat memanggilnya “Hey… Chile!”. Haduh, bikin malu. Belakangan saya agak menyesal bela-belain pergi ke pelabuhan Nagoya, sementara sisa waktu saya di Jepang akan tinggal di daerah pesisir Yokohama.
Disini nggak terlalu banyak obyek wisata, tapi lumayanlah saya sempat jalan-jalan ke Nagoya Castle dan Osu Kannon. Ceritanya tahun 1610, Tokugawa Ieyasu mindahin ibukota propinsi Owari dari Kiyasu ke Nagoya. Yup, Tokugawa Ieyasu itu orang yang sama yang mindahin ibukota Kyoto ke Tokyo. Kayaknya emang dia hobi mindah-mindahin ibukota deh… *apa sih? :p Nagoya Castle tuh dibangun dari material yang diambil dari Kiyasu Castle. Nggak cuma itu aja, selama pembangunan istana baru ini, seluruh kota termasuk 60ribu penduduk lengkap dengan kuil-kuilnya dipindahin juga ke sekitar Nagoya Castle. Woohoo! Ini baru namanya bedol kota. Nggak seperti Imperial Palace yang tertutup karena masih ditinggali Kaisar dan keluarganya, Nagoya Castle dibuka untuk umum sebagai objek wisata. Lokasinya ga terlalu jauh dari Nagoya station, trus biaya masuknya standar lah, 500 yen aja. Disekitarnya banyak taman & deretan kios bunga. Berhubung ini musim panas, yang banyak ya Hydrangea macam yang ada di Hasedera, selain itu ada juga bunga Iris & Lily.Masuk dari sub donjon (bangunan yang lebih kecil, 3 lantai) saya masuk ke main donjon berlantai tujuh. Di lantai pertama ada gambar mural & dekorasi Hommaru Palace, disini nggak boleh motret pake flash. Lantai dua sedang ga ada pameran jadi langsung lanjut ke lantai 3 yang berdekorasi Jepang jaman dulu, lengkap dengan suara dan pencahayaannya. Di lantai 4 dipamerkan baju perang plus pedang, helm dan sepatunya, mirip kayak yang dipake Takezo Kensei a.k.a Adam Monroe di serial Heroes. Oya, istana ini punya hiasan spesifik berupa ikan yang disebut kinsachi alias golden dolphin yang dipasang diatap. Sebenernya ikan ini lebih mirip ikan kakap dibandingkan lumba-lumba, tapi jelek kali ya kalo di-bahasa inggris-in jadi golden carp, xixixi... Sampai lantai 5, ada replika kinsachi berukuran sama dengan aslinya, bisa diduduki untuk difoto. Yang mau ber-narsis-ria kudu ngantri karena hampir semua orang pengen difoto disana sebagai bukti pernah ke Nagoya Castle. Sayangnya saya nggak bisa naik ke observation deck di lantai 7 karena sedang ada perbaikan.
Wednesday, July 21, 2010
19 July – Karakuri Ningyo
Menurut definisi Wikipedia, Karakuri = mechanical device to tease, trick, or take a person by surprise, sementara Ningyo = boneka yang menyerupai manusia. Nggak seperti robot lain yang bisa melakukan berbagai perintah rumit, Karakuri Ningyo cuma punya satu tugas simpel: menyajikan teh. Apabila secangkir teh diletakkan pada nampan diatas tangannya, robot ini akan mulai berjalan. Dia bergerak sepanjang jarak yang sudah ditentukan, seolah-olah seperti berjalan (kakinya beneran gerak lho!), kemudian menundukkan kepalanya. Kurang lebih perilakunya sama kayak orang yang menyajikan teh ke tamunya. Nah, kalau dia dah nunduk itu artinya teh udah boleh diambil & diminum. Ga cuma mengantarkan teh, tapi dia juga bisa balik lagi. Begitu selesai minum, cangkir teh yang kosong diletakkan kembali ke nampan. Robot ini akan menegakkan kepalanya, berbalik arah, kemudian berjalan kembali ke tempat semula sambil membawa cangkir kosong tersebut. Wow!
Sebenernya kalau robot ini baru ada sekarang-sekarang ini justru jadi nggak special ya. Tapi berhubung teknologinya masih kuno, saya jadi lebih appreciate. Karakuri Ningyo (からくり人形) bukanlah barang baru, dia sudah ada sejak abad ke 17. Bukannya pake baterai kayak robot-robotan sepupu saya, robot jadul ini digerakkan oleh per yang terbuat dari tulang ikan paus, didukung dengan lever (pengungkit) & cam (semacam tuas yang mengubah gerakan memutar menjadi gerakan keatas-kebawah). Ajaib aja siy, jaman dulu ada yang kepikiran buat bikin mekanisme rumit kayak gini cuma buat menyajikan teh. :D
Tuesday, July 20, 2010
18 July – Imperial Palace
Udah cukup pelajaran sejarahnya, ayo kita mulai jalan-jalan. Diawali dari stasiun kereta Tokyo yang arsitekturnya oldies banget, beda banget ama rata-rata stasiun kereta lain yang sudah modern. Kalo mau tau lebih lanjut siapa arsitek yang bikin bangunan tingkat tiga ini, silahkan googling aja. Katanya sih, di stasiun ini pernah ada pembunuhan Hara Takashi, Perdana Menteri Jepang waktu itu, hiy… serem. Yang jelas walaupun jadi stasiun utama di Tokyo metropolis (sekitar 3000 kereta per hari!), stasiun ini masih kalah gede ama Shinjuku station. Dulu pertama saya datang ke Tokyo bukan di Narita airport tapi di stasiun kereta Tokyo ini lho… waktu itu saya pake Tokaido Shinkansen si kereta peluru dari Nagoya. Sayangnya, waktu itu langsung ngejar kereta lain ke Yokohama, jadi ga sempat explore daerah sini. Jiah… jadi nostalgia. :p Oya, dibawah stasiun kereta ini ada underground walkways yang penuh dengan toko, café, dan restoran. Keluar dari stasiun kereta ini via Marunouchi exit, kita bisa lihat gedung kantor pos yang gak kalah jadulnya. Biarpun bangunannya jadul, Tokyo Central Post Office yang dibangun tahun 1931 ini tetep keren. Dari sini, jalan kaki menuju Imperial Palace Plaza sekitar 15 menit. Sepanjang jalan ini banyak taman yang keren, baik yang ada patungnya, air mancur, maupun yang cuma bangku dikelilingi tanaman. Sesampainya di Imperial Palace Plaza, dengan sedikit memutar kita bisa lihat Nijubashi Bridge (nijubashi bridge = double bridge) yang dibangun dari jaman Meiji. Dulunya jembatan ini terbuat dari kayu tapi udah hancur kena bom jaman perang. Oya, dari arah tertentu kita bisa dapat foto bagus lho, Nijubashi Bridge dengan background Fushimi Yagura. Bangunan yang disebut belakangan ini adalah bagian dari Imperial Palace, digunakan sebagai watchtower. Berhubung saya nggak diundang masuk untuk minum teh bersama Kaisar dan keluarganya, jadi saya cuma melipir memutari Imperial Palace Plaza berharap bisa dadah-dadah ama yang ada didalam istana sana. *lebay Ga berhasil ketemu Kaisar, saya balik arah lewat Otemon Gate untuk masuk ke Higashi Koen (higashi = timur, koen = taman). Meskipun masih wilayah Imperial Palace, ternyata gratis kok masuk ke taman ini. Sebenernya dari sini kalo mau diterusin jalan bisa lanjut ke Kitanomaru Park ama Yasukuni Shrine, tapi saya udah capek jalan n kelaparan. Yang ada juga balik kanan untuk berburu kuliner di pertokoan bawah tanah di Stasiun Tokyo, hehehe…
Monday, July 19, 2010
17 Juli – Flashpacking in Tokyo
Langkah hemat yang bisa dilakukan antara lain memangkas biaya transportasi. Kalau mau hop on & off keliling kota dalam satu hari, bisa beli one day ticket. Perlu diingat bahwa cara ini hanya akan lebih murah kalau kita bener-bener manfaatin seharian penuh keliling kota. Kalo mau pergi dan pulang hanya ke satu atau dua tujuan, mendingan pake tiket ngeteng aja beli satu-satu. Trus kalo beli tiket kereta, pastikan gak kelebihan / kekurangan bayar. Lho, bukannya bisa di refund? Iya siy… kalo kita salah beli tiket biasanya bisa tukerin ke mesin yang bertuliskan ‘Fare Adjustment’ sebelum kita keburu malu ga bisa keluar dari ticket gate. Tapi… (yup, ada tapinya) si mesin ini tak punya kembalian uang kecil. Biasanya pecahan terkecilnya adalah 100yen, jadi kalo kalian kelebihan bayar 90 yen bisa-bisa ga dapat kembalian. :p Oya, omong-omong uang kecil, biasakan bawa kantong / dompet khusus buat uang receh ya. Orang Jepang rata-rata punya kartu abonemen untuk rute yang biasa mereka lalui, tapi kadang-kadang tetep beli tiket ngeteng. Mereka adalah orang yang sangat menghargai waktu, jadi jangan biarkan mereka ngantri lama dibelakang kita hanya karena kita menunggu kembalian tiket 160yen yang kita beli pakai lembaran 1000yen, itu sangat menjengkelkan. Tips lain adalah bus biasanya lebih murah dari kereta untuk rute dalam kota. Biasanya orang luar suka malas pakai bis, karena ga bisa basa Jepang, ngerasa ribet bayarnya. Sebenernya naik bus itu simple & ga ribet kok, yang penting kita tau tempat naik & turun yang bener. Biasanya kita naik dari pintu tengah (ga da pintu belakang) sambil ambil tiket yang bertuliskan nama halte tempat kita naik. Ga bisa baca? Gapapa, silahkan duduk manis & cocokin tulisan itu (anggap aja gambar) ama yang ada di panel diatas kaca depan. Nah, panel itu juga menunjukkan berapa ongkos yang harus kita bayar, akan bertambah di setiap halte. Kalo mo turun tinggal pencet bel, ntar pas berhenti di halte, kita bayar (ingat pake uang pas) dimasukkan dalam kotak disamping sopir. Masih kurang murah juga? Jalan kaki! Eh, ini ga becanda lho… Jalan kaki disana sangat nyaman, karena trotoarnya lebar dan ga naik turun karena dirancang selain buat pejalan kaki juga untuk orang berkebutuhan khusus (pemakai kursi roda) dan sepeda. Jangan marah kalau ada sepeda di trotoar ya, memang mereka sharing jalan ama kita. Jalan beraspal jatahnya mobil, jarang lihat motor disana. Cuma ya kalo jalan kaki kudu siap perlengkapan perang seperti topi & jas hujan. Ga usah repot-repot bawa payung, soalnya walopun disana ga ada ujan gede, gerimisnya bonus angin kencang, sayang payungnya nanti malah patah. Waduh, cerita hemat transportasinya jadi kemana-mana.
Lanjut ke langkah hemat berikutnya, biaya makanan & minuman. Hemat tidak sama dengan nggak makan / minum lho ya… saya penganut makan berat tiga kali sehari plus ngemil. Kalo mau dipangkas mungkin bagian ngemilnya, tapi makan berat tetap tiga kali. Sarapan, biasanya dapat gratisan dari penginepan, just in case ga ada yg gratisan, bisa makan buah-buahan dan sandwich yang bisa dibeli satuan di convenience store macam 7/11. Untuk yang muslim perlu extra hati-hati memilih sandwich, karena kalo pake sosis / salami / dagin asap, hampir bisa dipastikan kalo itu daging babi. Yang aman, pilih yang cuma isi sayuran (selada+tomat+mayones), atau favorit saya isi sweet potato (ubi). Kalau buru2 bisa juga beli dari vending machine / alat jual otomatis, tapi pilihan terbatas. Oya, hampir semua mie instan cup disana mengandung minyak babi, jadi satu2nya yang aman cuma beli mie instan impor dari Indonesia yang berlogo halal. :D Jangan lupa sarapan akan lebih lengkap kalo ditambah minum susu & juice buah, jangan karena menghemat jadi cuma minum air keran. :p Makan siang bebas. Biasanya rumah makan jepang menyediakan display makanan didepan toko, lengkap dengan harganya. Jadi sebelum beli, bisa compare dulu ama toko sebelah-sebelahnya. Makan malam, nah ini dia seninya… tadi makan pagi cukup & bisa menggeser jam makan siang jadi agak sorean dikit, makan malemnya bisa tunggu makanan diskon di supermarket. Biasanya, diatas jam 7 malam dah mulai dikasih label 25-30%, nanti pas mo tutup sekitar jam 10 malam, semuanya 50-70%. Indahnya dunia! Oya, supermarket disini jualnya lauk-pauk di tray kertas gitu dalam kondisi setengah beku, nanti setelah bayar di kasir (bungkus sendiri pake kantong plastik / kantong kertas yang tersedia) trus bawa ke microwave. Panasin bentar, makan malam kita siap dibawa pulang ke penginepan untuk disantap. Eh lupa, tadi kan baru ngebahas lauk ya? Nasinya (kalo harus makan nasi) bisa beli juga di bagian nasi kepal, bisa dipanasin dulu tapi jangan lupa dibuka plastiknya (nebeng taruh di tray kertas teman nasi tadi). Kalo makanannya dalam porsi besar, sebagian bisa disimpan untuk sarapan besok pagi, hehehe… Nah, tentang minuman, harganya sih standar ya kalo di vending machine, tapi biasanya lebih murah dikit kalo beli di convenience store. Kadang2, minuman dingin dalam kulkas toko bisa lebih mahal. Jadi mendingan beli yang ga dingin, ntar kalo di penginepan ada kulkas, tinggal didinginin deh.
Terakhir, hemat biaya penginepan. Hotel mahal? Coba cari backpacker hostel, tinggal tanya oom Google. Mau gratis? Join hospitality network dong ah… salah satunya adalah www.couchsurfing.org dimana kita bisa berkenalan dengan berbagai host di seluruh dunia. Penasaran? Silahkan sign up di website tersebut.
Kayaknya tulisan kali ini udah lumayan panjang, nanti saya coba ceritakan kalo ingat tips lain. Happy flashpacking!
Sunday, July 18, 2010
16 July - Ueno Zoo
“kapan terakhir kali kamu ke kebun binatang?”, tanyanya.
“Sejujurnya saya sudah lupa, tapi pastinya bukan dalam satu dekade terakhir”, jawab saya.
Melihat perubahan ekspresinya, saya menyambung: “Eits, jangan dulu berpikiran saya bukan penyayang binatang. Justru karena saya sayang binatang, saya tidak mau berkunjung ke kebun binatang.”
Teman saya penasaran, dan bertanya lagi: “kok bisa?”.
Terpaksa deh buka rahasia: “In Bandung, my friends told me that those animal are skinny and not so active because they aren’t well fed. I’m afraid visiting Bandung zoo will makes me sad, so I hold myself not to visit it.”.
Akhirnya dia manggut-manggut, entah mengerti atau mengasihani. :p Pandangan kami menerawang ke jendela kereta, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sampai di Ueno Station, kami berjalan menuju kebun binatang. Setelah sedikit mengantri dan membayar JPY 600 seorang, sampailah kami ke kebun binatang tertua di Jepang: Ueno Zoological Garden. Berdiri pada tahun 1882, saat ini Ueno Zoo adalah rumah bagi ribuan binatang dari ratusan spesies. Tadinya saya menganggap semua kebun binatang sama: isinya binatang sedih dibalik jeruji. Tapi tampaknya para binatang disini lumayan sehat dan ceria. Dari pintu masuk kami mengikuti arah panah untuk berkeliling. Pertama kami mengelilingi East Garden. Isinya standarlah, burung merpati, burung hantu, elang, baboon, gorilla, singa dan macan. Saya suka sekali singa & macan, bagi saya mereka adalah kucing-kucing yang bertubuh besar, hehehe… Yang menarik di sayap timur ini adalah Nocturnal House, didalamnya kita bisa lihat kelelawar yang beraktifitas normal, karena ruangannya dibuat gelap seperti malam hari. Kami tidak diperbolehkan mengambil gambar disana, meskipun tanpa menggunakan lampu flash. Ada juga polar bear a.k.a beruang kutub, tampaknya dia kepanasan walaupun kolamnya sudah diberi bongkahan es balok. Kerjaannya cuma berendam dan leyeh-leyeh, sambil sebentar-sebentar menceburkan (atau lebih tepatnya menenggelamkan) diri ke dalam kolam. Yang lebih aneh adalah binatang setengah kuda & setengah zebra, entah apa namanya.
Harusnya untuk menyeberang ke West Garden kita bisa pakai monorail, tapi ngantri panjang. Lagian teman saya hobi jalan, jadi kami menyeberangi Aesop Bridge dengan berjalan kaki. Ada sesuatu yang mengejutkan saya disini, yaitu penguin. Ya, burung yang tak akan pernah bisa terbang ini lucu sekali, meskipun tak sebesar yang saya bayangkan. Tingginya hanya sekitar satu meter, berada di pinggir kolam berisi balok-balok es seperti yang ad adi kolam polar bear tadi. Anehnya, segerombolan penguin ini selalu melihat ke arah yang sama. Saat saya datang, mereka menengok ke kiri dan secara serempak kawan-kawannya mengikuti. Sementara saat salah satu menengok kekanan, tiba-tiba semua jadi menengok kekanan juga, dan bertahan seperti itu sampai saya melewati kandang mereka. Aneh. Mungkin itulah kenapa para penguin di kartun Penguin of Madagascar sok sok belagak seperti tentara. :p Teman saya senang menemukan burung flamingo [Family: Phoenicopteridae]. Burung ini berleher panjang, berparuh bengkok, dan suka mengangkat sebelah kakinya yang berselaput itu seperti penari balet. Ah, saya tak terlalu tertarik dengan spesies burung, tapi memang warnanya lucu juga sih. Lagian, baru kali ini saya lihat ada burung besar berwana pink – orange. Ajaib juga. :D Udara musim panas bulan Juli ini membuat kami lelah dan berkeringat. Setelah tersasar dan bertanya ke beberapa petugas, kami memutuskan untuk beristirahat sambil makan siang.
Setelah cukup pulih, kami melanjutkan pencarian Ling-ling. Sesampainya di kandang panda, betapa terkejutnya saya karena Ling-ling ternyata adalah panda dewasa berukuran sangat besar. Iya sih, saya tau panda itu beruang, what do you expect? Tapi masih rada shock karena saya pikir Ling-ling itu anak panda mungil seperti boneka saya dulu. Sama sih warnanya putih item seperti harapan saya, tapi… aduh… kekecewaan saya udah nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. The worst thing is, tampaknya Ling-ling kurang bersahabat hari ini, kerjanya hanya tidur-tiduran saja. Dari balik dinding kaca saya hanya berharap dia membalikkan badan untuk saya yang jauh-jauh datang menengoknya. Hikz… Akhirnya teman saya mengajak saya membeli souvenir di salah satu took dalam kebun binatang. Saya tidak membeli boneka panda dan malah membeli baby cheetah untuk teman koleksi boneka macan saya. Masih penasaran, saya kembali lagi ke kandang panda, dan Ling-ling masih tidur membelakangi saya. Hari semakin sore, dan saya sudah capek, jadi… bye-bye Ling-ling. :’(
Note:
Ling-ling adalah panda terakhir di Ueno Zoo, dia mati tahun 2008. :'(
Saya beberapa kali kembali ke Jepang, tapi nggak sempat nengokin dia lagi. Sedih deh...
15 July - Sakana
Saturday, July 17, 2010
14 July - Gohan
Tadinya kupikir makanan tak akan jadi soal karena baik di Indonesia maupun di Jepang sama-sama makan nasi. Tapi ternyata, nasinya aja beda lho... rasanya lebih pulen, butirannya lebih kecil (short grain), dan melekat / lengket satu sama lain, mirip ketan. Itu baru nasinya, nah sekarang lauk-pauk. Jangan harap bisa dapat rasa makanan macam hokben, karena it's totally different! Berbagai resto Jepang yang ada di Indonesia, rasanya sudah disesuaikan dengan lidah lokal yang suka dimanjakan dengan manis-asin-asem-gurih yang ga akan kita dapat di negara asalnya. Orang Jepang cukup sadar kesehatan, jadi rata-rata makanannya hambar alias kurang bumbu di lidah jawa-ku ini. Dari menunya, kita sudah cukup familiar dengan teriyaki, katsu, dan tempura versi hokben. Pas dicoba, teriyaki yang biasanya manis-legit mendadak jadi cuma berasa kecap yang sedikit asin, dan katsu / tempura berasa gorengan hambar. Ampun dah! Gelagapan cari kecap buat nambah rasa, kecewa berat karena disana cuma ada shoyu alias kecap asin, karena mereka ga kenal kecap manis kayak di warteg. Ga doyan kecap asin, target diarahkan ke shichimi. Katanya sih, sichimi ini campuran tujuh macam bumbu berupa bubuk cabe pedas dalam botol mungil, terdiri dari cabe merah giling, sansho (lada sichuan), kulit jeruk panggang, wijen hitam, wijen putih, hemp, jahe, dan nori (rumput laut). Kupikir, lumayanlah pedes daripada ga berasa. Yang ada juga kecewa pangkat dua, karena serbuk sichimi ini tak berasa menggigit sama sekali. Menyerah, kubuka bekalku: sambal abc & kecap manis abc sachet. Feels like home!