Sudah cukup puas dengan ‘daleman’ Daibutsu, kuputuskan untuk keluar. Terik matahari menyambut ubun-ubunku begitu kepalaku muncul di permukaan tanah, nampaknya sudah hamper tengah hari. Sambil memakai topi, kulihat ada sepasang bule berbadan besar ragu-ragu untuk masuk. Kulirik lubang tempatku masuk tadi, hmm… iya juga siy, kecil. Seketika saya bersyukur, bahwa tubuhku yang sering kukeluhkan overweight, ternyata masih bisa keluar-masuk pintu Daibutsu dengan leluasa. Yokatta ne! Sebenarnya tadi ada yang menarik di perjalanan menuju Daibutsu. Sesampainya di stasiun Kita Kamakura, saya berjalan melewati suatu kuil besar. Sudah banyak kuil yang kukunjungi, tapi baru kali ini kulihat ada prosesi shinzen shiki (pernikahan tradisional Jepang). Meskipun otakku mengatakan tujuan utamaku kesini adalah patung Budha raksasa itu, entah kenapa kaki membawaku mendekat ke kuil itu. Didominasi warna merah dan keemasan, kuil yang mirip rumah panggung terbuka itu dihias beberapa gantungan kertas putih yang dipilin diseputar dindingnya. Tinggi lantainya diatas kepalaku, tapi masih bisa terlihat prosesi yang sedang berjalan. Nggak seperti umumnya pengantin wanita di drama Jepang yang pakai kimono putih (shiromuku), disini dia pakai kimono hitam dengan obi (ikat pinggang kimono) berwarna merah, dengan hiasan rambut yang terlihat mirip antenna kamen rider. :D Kuputar lensa zoom di kameraku, ternyata si pengantin pria berkulit putih dan berambut coklat. Dia mengenakan montsuki (kimono formal hitam), haori (jaket kimono), and hakama (celana kimono). Hmm.. menarik. Penasaran, kuputari kuil yang berada ditengah lapangan itu untuk melihat lebih jelas apa yang sedang berlangsung. Disaat pengantin pria membaca sesuatu yang terdengar seperti mantra dari gulungan perkamen putih besar di tangannya, pengantin wanita berdiri diam disebelahnya. Sekumpulan orang tua berkimono duduk berhadapan di sisi kiri dan kanan pengantin. Kemungkinan mereka adalah keluarga dari pengantin wanita, karena tak tampak seorang kulit putih-pun disana. Beberapa turis mengabadikan momen ini dengan kamera mereka, yah… resiko nikahan di kuil yang jadi objek wisata, ditonton orang deh. Mungkin orang Jepang sendiri sudah jarang yang nikah di kuil, karena kebanyakan lebih suka nikah di gereja. Jangan salah, banyak dari mereka yang nikah di gereja itu non-Christian lho… Biasanya mereka memilih gereja karena lebih simple, tidak perlu mengikuti upacara-upacara tradisional yang menyita waktu dan tenaga. Satu alasan lagi yang pernah kudengar dari temanku, ini kesempatan sekali seumur hidup untuk memakai gaun pengantin putih seperti Cinderella. Ah, rupanya mereka sudah bosan pakai kimono. Semoga orang-orang Indonesia setia memakai kebaya atau baju daerah lain di hari pernikahan mereka, karena menurutku itu tak tergantikan oleh gaun putih gaya barat sekeren apapun. Sayang saya tak punya cukup waktu untuk berlama-lama melihat upacara tradisional itu. Kuil demi kuil kulewati sampai akhirnya kucapai Daibutsu yang kuceritakan tadi. Topi yang kupakai rupanya tak cukup kuat untuk menahan panasnya matahari. Tentu saja, hampir tak ada tempat berteduh disekitar patung ini. Disini cuma ada beberapa penjual souvenir dengan atap yang hanya melindungi dagangannya. Kulihat sekilas, ada gantungan kunci, kartu pos bergambar, pembatas buku, juga pajangan meja, semua berbentuk / bergambar patung Budha raksasa bertuliskan Kamakura. Standar. Kuputuskan untuk melanjutkan langkahku ke garden temple Hasedera.
No comments:
Post a Comment