welcome to my blog

zealous worker is a dedicated worker, yet a passionate traveller. enjoy...

Friday, July 23, 2010

21 July - Lost in Japan

Bukan… ini bukan judul film. Tapi beneran cerita tentang pengalaman saya tersesat (atau lebih tepatnya menyasarkan diri) di Jepang.
Tidak seperti kebanyakan teman perempuan, saya bisa membaca peta. Meskipun demikian, memegang peta yang benar dan menghadap ke arah yang benar bukanlah jaminan untuk tidak tersesat. Kalau masih ingat, di akhir cerita saya tentang Imperial Palace, dari Higashi Koen saya berencana untuk kembali ke Stasiun JR Tokyo tempat saya datang. Apa mau dikata, di perempatan jalan saya melihat Tokyo Tower yang (di peta) tampak dekat. Penasaran, saya teruskan berjalan kaki mengikuti jalan tersebut ke arah si menara TV, tanpa memperhatikan peta yang saya pegang. Bisa ditebak, beberapa menit kemudian saya kehilangan arah. Di kejauhan terlihat rel kereta api, tapi saya tak punya ide harus berjalan ke kanan atau ke kiri untuk mendapatkan stasiun terdekat. Tiba-tiba saya teringat, bahwa hampir di setiap perempatan besar, ada peta yang terpasang di dekat lampu lalu lintas. Saya setengah berlari kembali ke perempatan berikutnya, dan… tadaaaa… tampak ada peta segede template A0 di seberang jalan. Nyaris tak sabar untuk melintasi penyeberangan karena tak ada mobil melintas. Tapi, dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Selama di Jepang saya berusaha berperilaku seperti orang lokal yang sangat disiplin berlalu lintas, jadilah saya memelototi lampu pejalan kaki dengan harapan dia cepat menyala hijau. :p Bip.. bip… lampu hijau menyala bersamaan dengan bunyi tanda aman menyeberang untuk tuna netra. Dengan sukaria saya menyeberang untuk mendapati peta… yang ternyata beraksara kanji. *dang! Kuciwa berat. Saya berusaha mencari titik / panah merah bertuliskan “you are here” tapi tetap saja saya tak menemukannya. Huwaaa… Tengak-tengok, tampak sepi, setelah beberapa saat ada seorang nenek lewat. Yah, nenek-nenek mah biasanya nggak ngerti Bahasa Inggris. Bener aja pas ditanya dia bilang ga bisa bahasa Inggris. Dengan Bahasa Jepang ala kadarnya, kucoba tanya dimana stasiun kereta terdekat. Ga diduga, jawabannya kurang lebih: dari sini terus ke utara, nanti belokan kedua kekiri, terus ampe lihat taman, puterin, trus belok ke kanan, nah dari situ tinggal lurus aja nanti ketemu stasiun. *gubragh! Udah mah si nenek ngomongnya cepet, kosa kata saya cuma bisa nangkep utara-kiri-taman-kanan-stasiun, ampun deh. Kucoba menyembunyikan tampang begoku dengan tersenyum sambil bilang minta maaf, saya nggak ngerti, bisa tolong diulang pelan-pelan? Dengan sabar si nenek mengulangi penjelasannya pelan-pelan, tapi saya tetep nggak ngerti juga. Saya bilang terimakasih tapi sayang saya tetep nggak ngerti, gapapa kok, saya cari sendiri aja. Tiba-tiba nenek itu meraih lengan jaket saya, mengajak jalan bersama sambil mengulangi penjelasannya, kurang lebih: ini lho yang saya bilang kita terus ke utara… jadi ini belokan keduanya, kita belok kiri… nah ini tamannya, ayo kita belok kanan, nah sekarang kamu lihat lurus di depan? Itu dia stasiun yang saya bilang. Saya yang sedari tadi cuma berjalan sambil berusaha mendengarkan si nenek, terkesiap - ternyata benar stasiun sudah kelihatan. Cukup jauh jarak dari titik ini ke tempat saya memandangi peta tadi. Tak henti-henti saya membungkukkan badan sambil berterimakasih sampai si nenek menghilang dari pandangan, lalu berjalan menuju stasiun. Ternyata benar, keramahtamahan tak mengenal perbedaan bahasa.

Suatu hari ada meeting di site lain after lunch, tentu saja saya dan teman-teman lain yang ikut meeting merasa senang karena ga perlu ngantor dari pagi. Disusunlah rencana, ada yang mau jalan-jalan cari elektronik ke Akihabara, ada yang mau cari alat pancing di daerah Ueno, dan saya sendiri punya agenda khusus: menambah koleksi topi HRC. Berhubung lokasi yang dituju sama-sama seputar Ueno, maka kami bersama-sama kesana. Di stasiun Ueno kami berpisah dan janjian untuk ketemu disuatu lokasi, dua jam kemudian. Lokasi HRC sangat mudah ditemukan, karena masih berada dalam stasiun Ueno. Sayangnya, pagi itu belum buka, karena rata-rata toko di Jepang buka pukul 10 pagi dan tutup jam 8 malam. Jadilah saya hanya memutari pertokoan sambil menunggu HRC buka, sementara teman-teman pergi entah kemana. Begitu toko buka, saya langsung membeli beberapa merchandise yang sudah diincar sebelumnya, lalu lari mengejar kereta menuju site. Ternyata site ini lokasinya nggak mudah dicapai, udah mah pake ganti kereta lokal di stasiun kecil yang ga ada petunjuk pake romaji (tulisan latin), nantinya kudu naik bus. Karena buru-buru, saya salah naik kereta. Sadarnya pas udah tiga stasiun, kok perasaan ga nemu nama stasiun yang seharusnya dilewati. Catatan: saya nggak bisa baca kanji, jadi saya foto timetable dari stasiun asal untuk tau stasiun mana aja yang seharusnya dilewati, kemudian dicocokkan kanjinya seperti mencari sepuluh perbedaan. Itu dilakukan dalam waktu singkat saat di stasiun pintu terbuka sekitar 1-2 menit sehingga saya bisa melihat gambar / tulisan kanji nama stasiun tempat kita berhenti. Di stasiun ketiga saya keluar dan mencari timetable. Bener aja, saya berada tiga stasiun dari tempat ganti kereta tadi, tapi di arah yang berlawanan. Berlari-larilah saya naik turun tangga ke platform seberang (nggak bisa asal nyebrang rel kayak di Bandung), supaya bisa dapat kereta ke arah yang benar. Waktu saya sudah banyak hilang, jadi menunggu kereta kali ini berasa lama banget. Sesampainya saya di stasiun tujuan, sudah lewat 15 menit dari jam yang disepakati. Tentu saja teman-teman saya sudah pergi duluan. Nggak mau ambil resiko naik bus salah lagi, saya langsung berjalan ke platform taxi untuk menuju ke site. Untungnya sopir taxi langsung mengerti tujuan yang saya jelaskan dengan bahasa gado-gado. Singkat kata sampailah saya ke site, bayar taxi, dan melesat ke pos satpam. Teman-teman masih menunggu disana, karena para satpam tidak mengerti mereka harus menghubungi siapa. Lagi-lagi masalah komunikasi. Kukeluarkan kartu nama orang yang akan kami temui, barulah para satpam mengangguk-angguk dan memutar extension si empunya nama. Di ruang meeting, bapak bos besar yang sudah duluan datang memasang muka sangar. Dia meminta semua site member untuk memberi waktu buat kami, kemudian menutup pintu. Yup, kami diomelin. Terlambat itu tampaknya setara dengan dosa besar. Yang biasa kita anggap ‘ngaret’ alias ‘telat dikit’ di Indonesia, disini sama sekali tidak bisa ditolerir. Kami hanya bisa menunduk dalam-dalam, seselesainya beliau berceramah, barulah kami meminta maaf.

Kadang-kadang, saya tersasar bukan semata-mata karena nggak tau jalan. Saya dan teman saya selalu berangkat dan pulang kantor dengan satu-satunya monorail lokal di jalur seaside line. Jarak penginapan dan stasiun tempat kita turun untuk nyambung jalan kaki ke kantor cuma 5 stop, jadi kadang di jam sibuk kami pilih berdiri soalnya kalo dah duduk pasti nanti susah turun karena kehalang orang yang berdiri. Karena kami pulang kantor sore hari, matahari lagi cantik-cantiknya menjelang sunset. Biasanya saya suka memandangi kapal-kapal yang lewat atau roller coaster di Sea Paradise, sementara teman saya memperhatikan pemancing yang tampaknya sangat mudah mendapat ikan. Begitu kereta datang, pandangan kami terhalang. Otomatis kami masuk ke kereta, sambil melanjutkan bengong memandangi kapal-kapal, roller coaster, dan pemancing tersebut. Satu stasiun kemudian, kami baru menyadari bahwa kereta ini menjauh dari pelabuhan. Kami salah kereta! Dengan tertawa-tawa kami turun di stasiun tersebut untuk menyeberangi platform dan menunggu kereta yang ke arah berlawanan. Segitunya tiap hari pake kereta yang sama, kok bisa-bisanya salah naik gara-gara bengong, ga saling ngingetin lagi. Parah! :p

No comments:

Post a Comment